Sabtu, 14 Juni 2025

Warung Lamongan di Ujung Gang

Warung itu tak pernah benar-benar sepi. Meski hanya beratap seng dan berlantai semen, aroma dari dapur kecilnya sudah jadi penanda waktu makan bagi para penghuni kos di gang itu. Darma dan Sekar sering makan di sana. Pemiliknya, pasangan Bu Lilik dan Pak Minarto, berasal dari Lamongan dan sudah 7 tahun tinggal di kota ini.

Malam itu hujan gerimis. Darma duduk di pojok, membaca koran lokal yang habis dipinjam dari minimarket tempat Sekar bekerja. Sekar datang menyusul setelah shift-nya selesai. Wajahnya tampak lelah, tapi ia masih menyunggingkan senyum begitu melihat Darma.

“Sama seperti biasa ya, Sekar?” tanya Bu Lilik dari balik meja.

“Ceker mercon, Bu. Tapi jangan pedas banget ya. Perutku agak perih hari ini.”

Mereka duduk bersebelahan.

“Kadang aku mikir, Mas,” gumam Sekar sambil mengaduk es teh manisnya. “Kalau hidup ini kayak jalan gang sempit, kita mesti jalan pelan-pelan supaya nggak nyenggol orang lain.”

Darma hanya menanggapi dengan helaan napas. “Tapi gang sempit itu juga kadang bikin kita sadar, bahwa di tempat kecil pun, kita bisa ketemu orang baik.”

Hujan makin deras.

Pak Minarto menyodorkan sepiring ceker mercon dan seporsi nasi putih.

“Kalian berdua ini kayak adik kakak ya. Selalu bareng,” ucapnya sambil tertawa kecil.

Sekar dan Darma saling pandang, lalu tersenyum. Tidak perlu jawaban.

Di luar sana, genangan air mulai memenuhi gang. Tapi di dalam warung kecil itu, hangatnya ceker dan kebersamaan seolah membuat hujan tak berarti.