Minggu, 15 Juni 2025

Jejak di Tengah Ladang Angin

Langit di atas Riau pagi itu seolah menghamparkan keteduhan. Tidak biru cerah, namun juga tidak kelabu. Awan menggantung tenang, menyaring cahaya matahari menjadi temaram yang menyentuh kulit dengan lembut. Darma Wirya melangkah keluar dari losmen tempat ia menginap di kawasan Jalan Sisingamangaraja, Pekanbaru.

Dengan kemeja santai warna hijau lumut dan topi Eiger kesayangannya, Darma berjalan kaki menyusuri jalanan menuju Perpustakaan Soeman HS. Ia memilih rute ini bukan hanya karena dekat, tapi juga karena ia ingin menyatu dengan suasana kota. Bunyi mesin motor yang lalu lalang, wangi nasi uduk dari warung tenda pinggir jalan, suara anak-anak sekolah berlarian—semuanya menghidupkan kenangan masa kecilnya di kampung.

Sesampainya di halaman perpustakaan megah itu, Darma berdiri mematung. Bangunan itu seperti perahu layar raksasa yang hendak mengarungi samudra ilmu. Ia menghela napas dalam, seolah menyerap semangat dari bentuk bangunan yang tak biasa itu.

“Mas, pertama kali ke sini?” tanya seorang pria paruh baya berseragam pustakawan, dengan senyum ramah.

“Iya, Pak. Dari kampung. Mau cari... mungkin bukan buku, tapi ketenangan,” jawab Darma, jujur.

“Tempat yang tepat, Mas. Di sini, suara sunyi adalah musik, dan halaman buku adalah jalan pulang,” kata pria itu sebelum melangkah masuk.

Darma tersenyum. Ia mengangguk pelan dan masuk ke dalam.

Di dalam perpustakaan, aroma kertas dan ketenangan berpadu menjadi suasana yang mendamaikan. Di lantai atas, ia menemukan rak buku sejarah Melayu, dan membuka satu buku tebal yang membahas asal-usul suku di Riau.

Ia tidak tahu mengapa ia terdorong membaca buku itu, tapi setiap lembar yang ia buka seperti menjawab kekosongan dalam dirinya. Ia menandai satu kutipan:

> “Seseorang tak akan tahu ke mana harus melangkah, jika tak pernah tahu dari mana kakinya memulai.”



Menjelang siang, Darma keluar dari perpustakaan dan memesan ojek online menuju Jembatan Siak IV Sultan Abdul Jalil Alamuddin Syah. Ia sengaja ingin menyeberang dan melihat Kampung Bandar, sisi lama Pekanbaru yang tak sepopuler kawasan bisnis, namun menyimpan banyak cerita.

Ketika motor berhenti di sisi jembatan, angin sungai menyambutnya. Kuat, lembab, dan membawa aroma khas air yang menua. Ia menatap ke arah sungai Siak, sungai yang dulunya menjadi urat nadi perdagangan dan budaya di kawasan ini.

Di seberang, bangunan-bangunan tua tampak berdiri dengan bangga meski waktu telah menorehkan noda. Darma berjalan kaki melintasi jembatan. Di tengah jembatan, ia berhenti dan membuka buku catatan kecil dari sakunya. Ia menulis:

> Kota ini bukan hanya tentang bangunan dan jalan, tapi tentang jejak-jejak yang tak terlihat. Setiap orang yang pernah tinggal di sini, menitipkan kisahnya pada angin. Dan aku, sedang mencuri dengar kisah-kisah itu.



Setelah menyeberang, Darma masuk ke gang sempit di Kampung Bandar. Ia bertemu seorang bapak tua yang sedang duduk mengasah parang.

“Cari siapa, Nak?” tanya lelaki tua itu.

“Tidak cari siapa-siapa, Pak. Hanya jalan-jalan. Mencari napas yang berbeda,” jawab Darma.

Bapak tua itu tertawa kecil. “Kau orang kota, ya?”

“Saya... sedang mencari arti kampung dan kota, Pak.”

Obrolan mereka berlanjut hingga sore. Darma bahkan sempat diajak duduk di beranda, disuguhkan air kelapa muda, dan mendengar cerita masa lalu tentang kejayaan sungai Siak, kapal-kapal dagang yang dulu mondar-mandir, dan para perempuan yang menenun kain dengan tangan mereka sendiri.

Sore menjelang, Darma pamit. Ia menyeberangi jembatan lagi sambil memotret langit jingga dan pantulan matahari senja di sungai. Di tengah langkah pulangnya, ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk dari nomor tak dikenal:

"Kau belum selesai menjelajah. Besok, temui kami di Laman Boenda."

Darma terpaku. Siapa yang mengirim pesan itu? Mengapa tahu dia ada di Pekanbaru? Tapi entah kenapa, pesan itu tidak membuatnya cemas. Malah, seperti sebuah isyarat.

Ia menutup ponsel dan menatap langit yang makin memerah.

“Baiklah, Riau... aku masih di sini,” gumamnya.

Angin kembali berembus dari ladang, menerpa wajah Darma yang berdiri sendiri di batas ilalang. Ia belum tahu, ke mana langkah berikutnya. Tapi hari itu, ia tahu satu hal: ia tak lagi sama seperti saat pertama kali datang ke Tanah Lancang Kuning.

Dua minggu telah berlalu sejak Darma menapakkan kaki pertama kali di Tanah Lancang Kuning, bumi bertuah yang menghamparkan pesona alam dan budaya dalam satu napas. Dalam masa itu, nyaris tak satu pun sudut kota yang tak dijejaki oleh langkah-langkah kakinya.

Darma telah berfoto di depan Jembatan Siak IV, mengagumi arsitekturnya yang menjulang gagah. Ia juga menyusuri Kawasan Tepian Bandar Sungai Siak, duduk termenung menyaksikan perahu motor kecil melintas di antara kerlip lampu malam. Hari lainnya dihabiskan di Istana Siak Sri Indrapura, menjelajahi jejak kejayaan Melayu yang tersisa dalam diam. Di sana, ia berkenalan dengan sejarah yang tak hanya dia baca, tapi ia rasakan hingga ke kulit.

Taman Wisata Alam Mayang telah ia datangi dua kali—pertama sebagai pelancong, kedua sebagai seseorang yang ingin melarikan diri dari kenangan. Tak ketinggalan, Darma juga sempat mengunjungi Masjid Agung An-Nur, beribadah di bawah cahaya senja yang menembus kaca warna-warni. Dan sebagai penutup, ia menikmati sisa siang di Danau Buatan Lembah Sari, mengamati langit berubah warna bersama angin yang berdesir seolah ingin bicara.

Undian dari aplikasi belanja daring sebenarnya memberinya tiket pulang setelah dua minggu masa tinggal. Namun, sesuatu dalam dirinya menolak untuk kembali. Ada yang tertinggal di sini. Atau justru, ada yang ia temukan. Kota ini telah menyapanya lebih hangat dari yang ia kira. Ia mulai merasa seperti tidak lagi menjadi orang asing.

Dengan tekad yang belum sepenuhnya bulat tapi cukup kuat untuk bertindak, Darma memilih tidak naik pesawat kepulangan. Ia titipkan koper besar ke resepsionis hotel dan hanya membawa tas punggung kecil miliknya.

Hari berikutnya, ia berjalan menyusuri jalanan sempit, berbekal alamat kosan dari aplikasi pencari properti murah. Bukan kamar mewah, tapi cukup untuk memulai sesuatu yang baru. Dan di ujung gang kecil—di dekat warung tenda beraroma khas Lamongan, Darma merasakan sesuatu yang tak pernah ia temukan selama ini: keramahan tanpa basa-basi, dan keheningan yang tak menyendiri.

Pemilik warung melihat posturnya yang tegap dan menawarkan pekerjaan paruh waktu. “Kalau kau bisa bersihin meja dan angkat galon, sini aja bantu-bantu… makan gratis tiap malam.”

Darma tersenyum dan mengangguk.

Langkah berikutnya telah dimulai.