Judul noveltron: Langkah Darma di Tanah Lancang Kuning
Penulis cerita: Tur Wahyudin
Naskah ditulis pada Ahad, 15 Juni 2025
Nomor episode: 06
Judul episode: Peluh dan Persaudaraan
Episode 06 Bagian A
Ahad Pagi yang Sibuk
Matahari baru saja muncul dari balik bukit ketika suara ketukan bertalu-talu terdengar dari pintu rumah warga. Pak RT bersama beberapa pemuda lingkungan sudah berkeliling, mengingatkan warga tentang kerja bakti rutin yang dilaksanakan setiap hari Ahad pagi.
Darma, yang baru saja selesai salat Subuh, langsung bersiap. Ia mengenakan kaos oblong, celana training, dan topi lusuh yang setia menemaninya tiap kali berkeringat. Di tangannya, cangkul dan sapu lidi jadi senjata utama pagi ini.
Lingkungan mereka cukup bersih, tapi seminggu sekali warga tetap berkumpul untuk membersihkan saluran air, memotong rumput liar, mengecat ulang tembok pembatas taman kecil, dan merapikan area bermain anak-anak. Kebersamaan inilah yang selalu ditunggu-tunggu.
"Assalamualaikum, Pak Darma! Kita mulai dari saluran belakang, ya!" sapa Pak Udin, tetangga sebelah, yang sudah lebih dulu datang.
"Walaikumussalam, ayo Pak. Biar nggak keburu panas," jawab Darma sambil tersenyum.
Anak-anak kecil ikut membantu dengan memunguti sampah plastik dan menaruhnya di karung. Para ibu menyapu halaman, menyiapkan teh hangat dan camilan untuk para pekerja. Suara tawa dan canda sesekali terdengar di antara letihnya gotong-royong.
Menjelang pukul sepuluh, kerja bakti pun selesai. Lingkungan jadi bersih, rumput terpangkas rapi, dan jalanan kembali terlihat lapang. Darma duduk di bawah pohon mangga depan rumah Bu RT, menyeruput teh manis sambil mengobrol dengan warga lain.
"Kerja bakti ini bukan cuma bersih-bersih, ya. Tapi juga nambah akrab satu sama lain," ucap Pak RT sambil mengangkat gelas plastiknya.
"Betul sekali, Pak. Dan Ahad pagi kita jadi terasa bermanfaat," jawab Darma.
Matahari semakin tinggi, tapi semangat kebersamaan yang terbangun pagi itu tetap terasa hangat.
Episode 06 Bagian B
Abadikan Momen dengan Wefie
Setelah menyeruput teh manis di bawah pohon mangga, Darma bersandar pada batang pohon dan menatap lingkungan sekitarnya. Jalanan yang semula penuh dedaunan kering kini bersih. Selokan yang tadinya mengeluarkan aroma tidak sedap sudah lancar mengalir. Tapi lebih dari itu, hati Darma terasa hangat oleh kebersamaan yang tercipta.
“Eh, Darma... kamu baru kos di sini, kan?” tanya Bu RT yang datang membawa nampan berisi bakwan goreng.
“Iya, Bu. Baru dua bulan. Tapi udah merasa kayak rumah sendiri,” jawab Darma sembari tersenyum, mengambil satu bakwan hangat.
“Baguslah. Anak muda kayak kamu itu penting, ikut aktif di lingkungan. Jangan cuma nongkrong di depan kos sambil main HP,” timpal Pak Udin yang duduk di sebelah Darma, membuat semua tertawa.
Beberapa anak kecil berlari-larian di taman kecil dekat mushola. Seorang ibu, Bu Lela, mengajak mereka ikut menyiram tanaman hias yang baru ditanam bersama pemuda karang taruna. Dari kejauhan, terlihat juga beberapa remaja sedang mengecat ulang papan nama RT dan membuat batas jalan agar lebih terang di malam hari.
Kerja bakti hari ini juga jadi momen penting bagi warga RT 03. Selain bersih-bersih, mereka sedang mempersiapkan acara Tasyakuran Warga yang akan digelar sepekan lagi. Pak RT pun mulai membagikan tugas.
“Darma, nanti malam bisa ikut rapat panitia di balai warga, ya?”
“Siap, Pak. Saya ikut bantu semampunya.”
“Bagus. Kamu cocok jadi koordinator bagian konsumsi. Saya dengar kamu kerja di rumah makan, kan?”
“Iya, Pak. Di Warung Lamongan Ujung Gang. Saya bisa bantu urus bagian logistik dan masakan,” jawab Darma mantap.
Hari mulai beranjak siang. Aroma sayur lodeh dan sambal terasi dari rumah-rumah mulai menguar. Tanda bahwa saatnya semua kembali ke rumah masing-masing. Tapi sebelum bubar, warga berkumpul sebentar di halaman rumah Pak RT.
“Sebelum bubar, mari kita foto dulu!” teriak Pak Dwi, pemuda yang hobi fotografi.
Mereka berkumpul di depan papan nama RT yang baru dicat. Kamera terpasang di tripod, dan timer pun dimulai.
Cekrek!
Satu momen kebersamaan diabadikan. Dalam bingkai itu, ada senyum kelelahan, tawa ringan, dan semangat yang menyatu—menjadi pengingat bahwa di balik kerja bakti sederhana, tersimpan kekuatan luar biasa: solidaritas.
Episode 06 Bagian C
Senyum di Balik Peluh
Setelah sesi foto bersama usai, warga perlahan bubar. Tapi beberapa pemuda, termasuk Darma, masih tinggal di halaman rumah Pak RT untuk membantu membereskan peralatan kerja bakti—sekop, sapu lidi, ember cat, dan selang air. Udara sudah menghangat, keringat mengalir pelan di pelipis mereka, tapi tidak ada yang mengeluh. Justru tawa masih bersahutan.
“Darma, kamu cocok tinggal di sini,” kata Rendi, pemuda asli kampung itu yang dari tadi terlihat akrab dengan Darma. “Nggak banyak anak muda dari luar yang langsung mau nyambung ikut kegiatan kayak gini.”
Darma tertawa kecil. “Awalnya canggung juga. Tapi lihat keramahan orang-orang sini, saya langsung merasa diterima.”
Sementara itu, di seberang jalan, Bu Lela dan dua ibu lainnya sibuk menyusun daftar bahan makanan untuk tasyakuran pekan depan. Mereka menghampiri Darma dan Rendi.
“Nak Darma, nanti malam ya jangan lupa bawa daftar bahan yang biasa dipakai di warung Lamongan. Kita hitung kebutuhan buat 60 orang,” kata Bu Lela sambil mencatat di kertas kecilnya.
“Iya, Bu. Saya siap bantu hitungkan dan belanja juga, kalau perlu,” jawab Darma.
Pak RT yang sedari tadi berbincang dengan beberapa sesepuh warga mendekat. “Kamu tau, Darma… kerja bakti hari ini bukan cuma bersih-bersih lingkungan. Ini cara kami menyambut dan mengenal kamu lebih dalam.”
Darma terdiam sejenak. Kata-kata itu menancap dalam. Sebuah pengakuan yang membuat hatinya bergetar. Selama ini, ia berpindah-pindah tempat karena pekerjaan dan peruntungan. Tapi kali ini, rasanya berbeda.
“Saya juga merasa… ini tempat yang ingin saya tinggali lebih lama, Pak,” ucap Darma pelan.
Pak RT mengangguk. “Kalau begitu, selamat datang benar-benar di kampung ini, Darma. Mulai sekarang, kamu bagian dari kami.”
Langit mulai memutih, tanda siang akan datang. Darma menatap ke arah mushola kecil yang tadi ikut dibersihkan. Dari arah sana terdengar suara anak-anak yang sedang mengaji.
Hari Ahad itu bukan hanya tentang kerja bakti. Tapi tentang satu langkah kecil yang membuka pintu besar—tentang keterikatan hati, tentang menjadi bagian dari sesuatu yang lebih besar dari diri sendiri: komunitas.
Episode 06 Bagian D
Langit Semakin Terik, Hati Semakin Terikat
Siang mulai merangkak naik. Sinar matahari menimpa pelataran rumah Pak RT, membuat bayangan-bayangan orang yang masih berkumpul tampak jelas di tanah. Para ibu pulang lebih dulu untuk menyiapkan makan siang, sedangkan para pemuda yang tersisa, termasuk Darma, duduk bersila di bawah pohon mangga besar yang tumbuh di dekat mushola.
Beberapa gelas teh hangat dan gorengan dibagikan oleh Ibu RT yang datang menyusul sambil tersenyum. “Ini teh sisa arisan kemarin. Masih enak, daripada mubazir,” ujarnya, membuat semua tertawa ringan.
Rendi mengangkat gelasnya, “Ah, teh warisan. Enaknya dua kali lipat!”
Darma tersenyum, tapi pikirannya melayang. Ada perasaan yang sulit dijelaskan. Bukan sekadar kenyang karena teh dan gorengan, tapi karena kehangatan yang tak ia temui di tempat-tempat lain. Ia merasa seperti sedang duduk bersama keluarga, bukan tetangga baru.
Setelah makan ringan, Darma bangkit dan meminta izin sebentar ke kamar kos-nya yang tidak jauh dari sana. Ia ingin mandi dan berganti pakaian. Peluh masih membasahi punggung kaus oblongnya. Saat melangkah menuju gang kecil di mana kosnya berada, ia melihat Ibu Lela berdiri di depan rumah sambil menyiram tanaman.
“Udah cocok jadi anak kampung sini kamu, Darma,” celetuk Bu Lela saat Darma lewat.
Darma menoleh dan membalas dengan senyum. “Saya juga merasa begitu, Bu.”
Setelah mandi dan beristirahat sejenak, Darma kembali ke rumah Pak RT. Kali ini ia membawa buku catatan kecil dan pulpen.
“Pak, saya mau bantu nyusun daftar kebutuhan buat tasyakuran,” ucapnya sopan.
Pak RT menyambut dengan tangan terbuka. “Bagus. Kamu ikut aja kami ke rumah Pak Sarif. Beliau yang biasa belanja ke pasar dan punya catatan tahun-tahun sebelumnya.”
Darma ikut rombongan kecil itu—Pak RT, Bu Lela, Rendi, dan satu ibu muda bernama Desi. Di sepanjang jalan, mereka ngobrol ringan tentang hal-hal khas kampung itu: kebiasaan ronda malam, lomba 17-an yang katanya paling seru se-RW, dan cerita lucu dari generasi muda zaman sekarang yang suka tik-tokan.
Sesampainya di rumah Pak Sarif, mereka disambut dengan semangkuk kecil rujak buah dan kerupuk. Suasana obrolan kembali hangat. Daftar kebutuhan tasyakuran pun disusun bersama, disesuaikan dengan jumlah warga dan estimasi porsi.
Sore menjelang. Saat matahari mulai tergelincir dan langit menunjukkan semburat oranye, Darma ikut kembali ke rumah kos sambil membawa kertas daftar belanjaan yang akan diketik malam nanti. Ia duduk sebentar di kursi kayu dekat jendela. Udara sore masuk pelan dari sela kaca yang sedikit terbuka.
Dan entah kenapa, sore itu ia merasa pulang. Meski tak ada sanak saudara di kota ini, tapi rasanya seperti rumah. Seperti panggilan takdir yang lembut—tanpa gempita, tapi dalam.
Di luar, suara azan Magrib mulai terdengar, menandakan malam akan datang. Dan hari yang sibuk, penuh peluh dan senyum, akan berlanjut dengan langkah-langkah kecil menuju keterikatan yang lebih kuat.
Episode 06 Bagian E
Malam yang Menghangatkan Hati
Langit malam di kota itu gelap sempurna, hanya bertabur bintang kecil yang sesekali terlihat di balik awan tipis. Di halaman rumah Pak RT, suasana tasyakuran sederhana mulai terasa. Lampu bohlam kuning digantungkan di seutas tali yang melintang dari pagar ke pohon belimbing. Tikar digelar rapi. Beberapa ibu duduk di sisi kiri, para bapak di kanan, dan anak-anak berlarian membawa balon dan sandal lepas.
Darma datang mengenakan kemeja kotak lengan panjang yang digulung hingga siku, dan celana jeans bersih. Rambutnya masih sedikit basah sisa mandi sore. Di tangannya, ia membawa print-out daftar kebutuhan dan rundown acara yang ia ketik di warung fotokopi siang tadi.
“Pak RT, ini daftarnya. Sudah saya rapikan, barangkali berguna untuk acara tahun depan juga,” ucap Darma sambil menyodorkan kertas.
Pak RT membacanya sebentar, lalu mengangguk puas. “Wah, rapi benar kamu ini. Bisa jadi sekretaris RT nih kalau betah.”
Darma tertawa kecil, “Masih jadi warga baru, Pak. Tapi kalau bisa bantu, saya senang.”
Acara dimulai dengan doa bersama, dilanjutkan sambutan singkat. Lalu, satu per satu hidangan tumpeng dibagikan ke hadirin. Nasi kuning, ayam goreng, sambal goreng kentang, urap, dan telur balado dalam bungkus-bungkus daun pisang. Suasana hangat. Obrolan kecil mengalir. Darma duduk di antara Rendi dan Pak Sarif, menikmati makan malam sambil sesekali menanggapi cerita lucu dari tetangga.
Tak lama setelah makan, beberapa anak muda berkumpul di sudut halaman memainkan gitar. Mereka menyanyikan lagu-lagu pop sederhana. Salah satunya, Rendi, menarik Darma ke dekat mereka.
“Ayo, Dar! Katanya dulu suka ikut lomba vokal di kampus, tuh!”
Darma sempat menolak, tapi akhirnya tersenyum menyerah. Ia menyanyikan lagu lawas Kemesraan dengan suara berat namun bersih. Warga yang mendengar ikut bersenandung lirih. Ada yang mengangguk-angguk pelan, teringat masa muda mereka.
Malam semakin larut. Perlahan, warga pamit satu per satu. Tersisa beberapa orang yang membereskan tikar dan gelas plastik. Darma membantu sampai akhir. Ia ikut menyapu halaman dan mematikan kabel lampu hias. Sambil menggulung kabel, ia berbicara pada Pak RT yang juga masih di situ.
“Terima kasih sudah izinkan saya ikut terlibat. Rasanya seperti ikut acara keluarga.”
Pak RT menepuk bahunya ringan. “Kamu memang sudah jadi bagian keluarga di sini, Dar.”
Sekitar pukul 10 malam, Darma pulang ke kosannya yang hanya dua gang dari rumah Pak RT. Suasana kos sudah sunyi. Teman sekamarnya sudah tertidur. Darma melepas kemeja, menyeka wajah dengan handuk basah, lalu duduk di tepi ranjang.
Ia menatap layar ponselnya sebentar, membuka galeri tempat ia memotret suasana tadi. Ada gambar tumpeng, foto anak-anak yang tertawa lepas, dan satu potret candid dirinya yang diambil Rendi saat sedang bernyanyi.
Darma tersenyum kecil.
Lalu ia mematikan lampu kamar. Suara kipas angin berputar pelan di langit-langit. Udara tidak terlalu panas malam itu. Ia menarik selimut tipis, membaringkan tubuhnya.
Dalam gelap, ia membisikkan sesuatu pelan ke dalam hati:
"Terima kasih, Ya Allah ... Aku merasa mulai menemukan rumah."
Dan malam pun memeluk Darma dalam tenang. Lelap, penuh syukur dan harapan baru.