Selasa, 17 Juni 2025

Jaganala Episode 01: Bara yang Tak Membakar

Judul noveltron: JAGANALA
Nomor episode: 01
Judul episode: Bara yang Tak Membakar
Jumlah episode: 5
Penulis cerita: -
Naskah ditulis di Pacitan, 17 Juni 2025

---

JAGANALA – Episode 01 Bagian A
Judul bagian: Bara dan Debu

Udara siang itu (Kamis, 22 Mei 2025) berat dan panas. Asap tipis mengepul dari tungku pembakaran bata di ujung lapangan tanah merah. Suara sekop menghantam adonan tanah liat bercampur sekam terdengar ritmis—keras, padat, dan konsisten. Di tengah debu yang berterbangan, berdirilah seorang pria kekar, tubuhnya hanya dibalut celana jeans pendek lusuh sampai menutup lutut, memperlihatkan betis kekar penuh tanah kering yang menempel seperti kulit kedua.

Namanya Jaga Raksa Bramantya. Biasa dipanggil Jaga, kulitnya gelap kecokelatan karena matahari, dan dadanya bidang berkilau peluh. Otot-otot lengan dan perutnya bergerak nyata tiap kali ia mengangkat cetakan bata lalu menyusunnya rapi. Wajahnya tampan tanpa jerawat, alisnya tebal, dan rambutnya sedikit ikal, hitam tanpa uban, sedikit berantakan oleh angin dan keringat. Usianya 38 tahun tapi fit seperti akhir dua puluhan.

Tak jauh dari situ, sebuah mobil Daihatsu Ayla putih berhenti di dekat warung bambu kecil di tepi ladang. Seorang pemuda turun dengan hati-hati. Kemejanya putih bersih dimasukkan rapi ke dalam celana panjang hitam yang licin dengan sepatu pantofel hitam mengkilat seperti habis disemir. Ia tampak asing di tempat sekasar ini.

Pemuda itu bernama Anala Surya Mahendra, biasa dipanggil Nala. Seorang arsitek muda dari Kota Madiun yang dikirim oleh bosnya untuk survei bahan bangunan lokal. Dengan tangan kiri memegang map cokelat, ia menyeka dahinya yang berkeringat dengan saputangan kecil. Pandangannya menyapu sekeliling, lalu berhenti pada tubuh lelaki yang tengah menyusun bata dengan tangan telanjang.

Sejenak ia diam. Ada sesuatu yang tak bisa dijelaskan. Mungkin karena caranya bekerja yang khidmat. Mungkin karena tubuhnya yang tampak seperti dipahat dari batu. Atau karena sinar matahari yang membuat peluh di dadanya memantul seperti kilau logam.

Warung di dekat situ sepi. Penjualnya tertidur di atas dipan bambu. Nala berdiri kikuk, lalu akhirnya memberanikan diri melangkah pelan mendekat ke arah tumpukan bata. Debu menyentuh sepatu pantofelnya, tapi ia tak peduli.

“Permisi…” Nala bersuara pelan, sedikit serak karena udara panas.

Jaga menoleh. Tatapannya tajam, seolah bertanya tanpa berkata. Lalu ia menyeka peluh di dahinya dengan punggung tangan.

“Bata merah ini… bisa dibeli langsung di sini?” tanya Nala.

Jaga tidak langsung menjawab. Ia hanya menatap, lalu mengangguk. Satu anggukan kecil, tenang, dan mantap.

“Kamu dari mana?” tanya Jaga, suaranya dalam dan berat.

“Dari Kota Madiun. Survei. Bos saya pengen tahu kualitas bata bakar di sini,” jawab Nala sambil membuka map, lalu tersenyum kecil—senyum yang tak langsung dibalas.

Jaga hanya menatap map itu sejenak, lalu kembali menaruh cetakan kosong ke tanah. “Kalau mau lihat… ikut saja.”

Nala sedikit gugup, tapi mengangguk.

Dan seperti itulah awalnya. Dua sosok yang begitu berbeda—satu keras karena alam, satu rapi karena kota—berjalan berdampingan di tengah terik siang, menuju ke deretan bata yang baru dibakar. Tanpa banyak kata. Hanya bayangan mereka yang menempel di tanah merah dan langkah pelan yang mulai menyamakan irama.


---

JAGANALA – Episode 01 Bagian B
Judul bagian: Nyala yang Pelan

Langkah Nala perlahan mengikuti Jaga menyusuri jalur sempit yangdipenuhi debu kering dan serpihan sekam. Panas mulai menyerap melalui tapak sepatu, dan udara seakan menempel di kulit. Namun tatapannya tetap tak lepas dari punggung Jaga yang kokoh dan lebar, bergerak mantap setiap kali melangkah.

Di ujung jalur, tampak tumpukan bata merah yang telah selesai dibakar. Masih hangat, bahkan ada beberapa yang menguapkan uap tipis, menandakan proses pembakaran baru saja selesai.

“Ini hasil kemarin sore,” kata Jaga tanpa menoleh.

Nala mengangguk, lalu mengamati bata itu lebih dekat. Ia mengetuknya perlahan, mendengar gema yang nyaring dan solid. Matanya berbinar.

“Bagus,” gumamnya pelan. “Lebih padat dari yang saya duga.”

“Tanahnya dari dasar sungai lama,” kata Jaga, kini menoleh. “Kalau musim kemarau panjang, hasilnya bisa dua kali lipat lebih kuat.”

Nala menatap mata Jaga sekilas. Baru sekarang ia benar-benar menangkap sorot itu—dingin di permukaan, tapi menyimpan ketelitian dalam cara bicara.

“Bisa saya foto beberapa?” tanya Nala.

“Bisa. Tapi jangan dekat jobongan. Masih panas.”

Nala mengangguk lagi. Ia mengambil ponsel dari tas slempangnya, lalu mulai memotret. Sesekali, Jaga berdiri di samping, tangannya bertolak pinggang, tubuhnya tampak seperti patung hidup di antara bata dan debu. Nala sempat ragu untuk mengambil gambar saat Jaga berdiri seperti itu. Tapi diam-diam, ia menyimpan satu jepretan—bukan untuk laporan bosnya, tapi entah untuk apa.

Setelahnya, mereka berjalan ke teduh. Sebuah pohon asem tua menjulang di sisi ladang, dan Jaga mengambil rokok dari kaleng kecil, menyulutnya dengan korek kayu. Aroma Surya Gudang Garam menguar, mencampur udara panas dengan bau tembakau yang membumi.

“Kamu sering ke lokasi begini?” tanya Jaga di sela isapan rokok.

Nala menggeleng. “Baru kali ini. Biasanya hanya lihat bahan dari katalog atau toko bangunan. Tapi katanya, bata bakar yang paling bagus justru dari sini.”

Jaga hanya mendengus kecil. Lalu diam.

Hening kembali menyergap. Tapi tidak canggung. Seperti dua orang asing yang entah bagaimana merasa cukup hanya dengan kehadiran satu sama lain.

“Kamu kerja sendiri di sini?” tanya Nala lagi.

“Teman-teman lagi jemur bata di sisi timur. Aku yang jaga pembakaran.”

Nala melirik lengan Jaga yang penuh otot dan kulit gelap legam karena matahari. Ia seperti tak bisa menyembunyikan rasa takjubnya.

“Kamu kuat banget, ya,” gumamnya tanpa sadar.

Jaga menoleh cepat, dan Nala buru-buru mengalihkan pandangan. Tapi Jaga hanya menyeringai tipis, lalu menjentikkan abu rokok ke tanah.

“Kalau nggak kuat, nggak jadi bata,” ujarnya pendek.

Dan untuk sesaat, Nala hanya tersenyum kecil, menunduk—entah malu, entah kagum. Tapi dalam dirinya, ia tahu: pertemuan ini tak akan berhenti di sini.


JAGANALA – Episode 01 Bagian C

Judul bagian: Bara yang Tak Padam


Hari makin siang. Udara kering menggantung di langit, sementara suara daun asem tua bergesekan pelan diterpa angin. Di bawah pohon itu, Jaga dan Nala duduk bersisian. Jaga masih dengan rokoknya yang tinggal separuh. Nala membuka botol minumnya, meneguk sedikit, lalu menyodorkannya ke Jaga.

“Minum, Mas?”

Jaga menoleh sebentar. “Enggak, makasih. Aku biasa minum air sumur di belakang dapur.”

Nala mengangguk, menyimpan kembali botolnya. Ada jeda hening, lalu ia mengeluarkan buku kecil dari tas, mencatat sesuatu. Jaga melirik sekilas.

“Kamu nulis apa?”

“Catatan bahan, proses, sama harga per biji. Nanti dikasih ke bosku.”

Jaga mengangguk pelan. “Bosmu orangnya cerewet?”

“Enggak juga, cuma... detail banget. Kalau dataku ngaco, bisa-bisa nggak disuruh datang lagi ke lapangan.”

“Sayang kalau gitu,” gumam Jaga sambil berdiri dan menyeka lengan bawahnya dengan handuk kecil. “Kamu beda. Biasanya tamu dari kota cuma duduk di mobil, terus nyuruh orang ambil sampel, lalu pergi.”

Nala tersenyum. “Aku memang suka lihat prosesnya langsung. Soalnya, kalau nggak turun ke tempat kayak gini, aku nggak tahu rasanya kerja keras itu kayak apa.”

Jaga diam. Lalu matanya menatap Nala, kali ini lebih lama.

“Kerja keras nggak cuma soal angkat bata,” ucapnya pelan. “Kadang, nahan hidup sendirian juga kerja keras.”

Nala tertegun. “Kamu sendiri di sini, Mas?”

Jaga mengangguk. “Orang rumah di Kalikuning. Sejak Bapak meninggal, aku pilih kerja jauh biar nggak terus kepikiran beban keluarga. Tapi ya, makin lama di sini, makin sepi juga rasanya.”

“Maaf,” bisik Nala. “Aku nggak bermaksud—”

“Enggak apa-apa. Seneng juga ada yang ngajak ngobrol.”

Senyap sejenak. Hanya ada bunyi angin menerpa tungku jobongan yang masih mengepulkan asap samar.

Lalu, dari arah belakang dapur, seorang pekerja berteriak memanggil.

“Jaga! Jemuran barat mau roboh!”

Jaga menoleh cepat, lalu melangkah pergi. Tapi sebelum benar-benar lari, ia sempat menoleh sebentar ke arah Nala.

“Tunggu sini, jangan kena abu jobongan. Nanti aku balik lagi.”

Nala mengangguk. “Hati-hati, Mas.”

Dan saat tubuh Jaga menjauh, Nala berdiri perlahan, lalu berjalan pelan ke sisi tungku pembakaran. Ia berhenti tepat di depan tungku terbuka yang masih menyala. Cahaya merah-oranye berpendar samar dari balik celah bata yang menyimpan bara di dalamnya.

Ia menatap api itu, dan untuk pertama kalinya, ia menyadari... ada bara lain yang juga menyala. Di tempat lain. Di dalam dirinya.

Bukan sekadar ketertarikan, bukan sekadar kekaguman pada tubuh yang kekar atau pada pekerjaan keras Jaga. Tapi rasa tenang yang muncul saat mereka diam bersama. Rasa nyaman tanpa perlu banyak bicara. Rasa ingin tahu, ingin mengenal lebih jauh.

Dan seperti tungku itu, bara itu belum akan padam.


Lanjut ke Bagian D

Berikut Bagian D dari noveltron "Jaganala" Episode 01:


JAGANALA – Episode 01 Bagian D

Judul bagian: Debu di Kaki, Getar di Dada


Jaga kembali setelah hampir lima belas menit. Keringatnya bercucuran, debu menempel di bahunya, dan lengannya sedikit kotor karena menyangga tiang jemuran yang hampir roboh.

“Maaf, lama,” ucapnya, duduk kembali di tempat semula, hanya selisih sejengkal dari Nala.

Nala mengangguk pelan, menatap lengan Jaga yang tampak lebih legam dari sebelumnya. “Mas, itu luka?” tanyanya, menunjuk goresan kecil di siku kanan Jaga.

“Ah, ini?” Jaga terkekeh pendek. “Cuma lecet kena kawat. Nggak apa-apa.”

Nala refleks membuka tisu basah dari tas kecilnya. “Biar ku bersihkan, ya. Kawat berkarat bisa bahaya.”

“Nggak usah repot, Nala—”

Tapi Nala sudah setengah jongkok di hadapan Jaga. Dengan lembut, ia menyeka goresan itu, meniup pelan agar perihnya berkurang. Jaga diam. Napasnya tertahan. Ada sensasi aneh yang merambat dari luka kecil itu sampai ke dadanya.

“Selesai,” kata Nala pelan.

“Makasih.”

Senyap sejenak.

“Kamu selalu serapi ini?” tanya Jaga, setengah bercanda, sambil menunjuk penampilan Nala yang tetap tampak bersih meski duduk di tanah berdebu.

Nala tertawa kecil. “Sudah kebiasaan. Katanya, bersih itu cermin hati.”

Jaga mengangguk. “Mungkin benar. Hati orang seperti kamu pasti juga bersih.”

Mereka saling menatap. Mata Nala sedikit melembut. “Mas Jaga...”

“Hm?”

“Aku mungkin cuma singgah. Tapi selama beberapa jam ini, aku merasa... seperti pulang.”

Jaga menoleh, pandangannya lebih dalam dari sebelumnya.

“Kamu tahu, Nala,” gumamnya, “kadang, seseorang bisa tinggal di sini.” Ia menepuk pelan dadanya. “Meskipun cuma sebentar.”

Angin sore menyapu perlahan. Daun jati tua berjatuhan, dan langit mulai memerah.

Nala menarik napas. “Kamu orang baik, Mas. Tapi aku harus pulang nanti sore. Bosku minta laporan lengkap malam ini.”

Jaga mengangguk. Tak ada protes, tak ada tanya. Tapi sorot matanya mendung seketika.

“Aku ngerti. Hidup terus jalan. Tapi... sebelum kamu pergi, boleh minta satu hal?”

Nala menoleh pelan. “Apa?”

Jaga berdiri, lalu menarik lengan Nala agar ikut berdiri bersamanya. Tanpa berkata apa-apa, ia berjalan membawa Nala ke sisi jobongan yang lebih tinggi. Dari situ, pemandangan bukit-bukit merah kecoklatan tampak jelas, dengan langit jingga menggantung indah di atasnya.

“Nah,” ucap Jaga, menunjuk ke arah langit, “setiap jam segini, tempat ini cantik banget. Biasanya aku nikmati sendiri. Tapi hari ini... aku mau berbagi pemandangan ini sama kamu.”

Nala terdiam.

Cahaya sore menyinari tubuh mereka. Debu di kaki, keringat di pelipis, dan rasa asing di dada yang kini tak terasa menakutkan lagi.

Karena untuk pertama kalinya, Nala menyadari, dalam tubuh penuh debu dan luka itu... ada seseorang yang mampu membuatnya merasa hidup.

Dan bagi Jaga... dalam tubuh kurus dan suara halus itu, ada seseorang yang membuatnya merasa dihargai tanpa harus menjadi siapa-siapa.


Berikut Bagian E dari noveltron "Jaganala" Episode 01:


JAGANALA – Episode 01 Bagian E

Judul bagian: Pulang yang Tak Sama

Matahari perlahan tenggelam di balik perbukitan. Warna jingga telah beralih menjadi temaram, dan langit memudar ke ungu kelabu. Di bawah langit yang berubah itu, dua sosok berdiri dalam diam, seolah waktu berhenti hanya untuk mereka.

Nala menatap arlojinya. “Aku harus berangkat sekarang.”

Jaga mengangguk pelan. “Sudah siap?” tanyanya, meskipun hatinya belum.

“Sudah.” Tapi suara Nala nyaris hanya bisikan.

Mereka berjalan beriringan ke halaman depan lokasi pembuatan bata, tempat mobil kecil Nala terparkir. Tak ada suara selain derik sepatu menyentuh tanah kering.

Sebelum membuka pintu mobil, Nala menoleh. “Mas Jaga.”

“Ya?”

“Boleh aku peluk kamu?”

Jaga tampak terkejut, tapi hanya sesaat. Ia tersenyum lebar, tulus. “Kalau kamu nyaman.”

Nala maju pelan, lalu memeluk tubuh kekar Jaga dengan hati-hati. Tidak erat, tidak terburu-buru. Hanya cukup lama untuk menyampaikan bahwa sore ini bukan cuma tentang bata, debu, dan laporan. Tapi tentang dua orang asing yang saling melihat lebih dalam dari yang biasa.

Jaga menepuk punggung Nala lembut. “Makasih, Nala.”

“Untuk apa?”

“Karena sudah datang.”

Nala melepaskan pelukannya. Ia naik ke mobil, lalu menurunkan kaca jendela.

“Aku belum tahu kapan bisa ke sini lagi,” ujarnya.

Jaga menyipitkan mata, menahan emosi. “Aku juga belum tahu kapan bisa lupa kamu.”

Mesin dinyalakan. Debu naik pelan saat mobil mulai bergerak menjauh. Dari spion, Nala melihat Jaga masih berdiri di tempat yang sama—bertelanjang dada, berdebu, dan tegap dalam sunyi.

Jalanan mulai gelap, tapi ada cahaya di hati Nala. Cahaya yang ditinggalkan oleh seorang laki-laki bernama Jaga Raksa Bramantya, yang tak banyak berkata-kata, tapi mampu membuatnya merasa cukup.

Di tengah perjalanan, Nala merogoh tas kecilnya. Ia membuka halaman belakang buku catatan, dan menulis:

“Bukan cinta. Bukan juga sekadar kagum. Tapi sesuatu yang lebih diam. Lebih dalam. Aku tidak akan mencarinya di tempat lain. Karena sore itu, di antara tumpukan bata dan debu merah, aku telah menemukannya.”

Dan meski besok pagi dunia akan kembali seperti semula—dengan laporan, angka, dan jadwal rapat—Nala tahu, ia telah membawa pulang sesuatu yang tak bisa diukur:
sebuah perasaan yang hanya dimengerti oleh langit, batu bata, dan dua hati yang saling mengenali tanpa pernah dijanjikan.


SELESAI
Judul: JAGANALA
Penulis: -


Ilustrasi