JAGANALA – Episode 03: "Dalam Diam, Kita Mengerti" adalah noveltron atau e-novel yang ditulis dengan aman. Namun, tetap menyisakan ruang bagi pembaca untuk berimajinasi liar dan realistis, tanpa perlu eksplisit.
Episode Sebelumnya ...
Sinopsis JAGANALA — Episode 02: “Bara yang Tak Padam”
Tiga minggu setelah pertemuan terakhir yang menggugah hati, Nala dan Jaga kembali dipertemukan—bukan karena kebetulan, tapi karena kerinduan yang perlahan tumbuh menjadi bara yang tak kunjung padam.
Di tengah ladang bata yang panas, gerimis sore di warung Pak Cipto, hingga hangatnya kerja keras bersama, keduanya mulai saling membuka diri. Jaga, lelaki keras yang hidup dari bara dan lumpur, dan Nala, pria kota yang membawa ketenangan dalam senyumnya—keduanya belajar menjaga sesuatu yang lebih dari sekadar api pembakaran: perasaan yang tumbuh pelan namun tak bisa disangkal.
Lewat tawa kecil, isyarat sunyi, dan keheningan yang penuh makna, mereka saling menguji keberanian untuk tetap tinggal—atau kembali lagi setelah pergi. Dan dalam senja yang pelan menyelimuti dusun, satu hal menjadi terang: cinta tidak selalu meledak; kadang, ia cukup dijaga seperti bara. Agar tak padam.
JAGANALA – Episode 03 Bagian A
Judul Bagian: Satu Malam di Bilik Tungku
Langit malam Desa Kayen mulai pekat, diselingi suara jangkrik dan dentingan kayu terbakar dari jobongan yang masih menyala untuk memanggang batu bata. Jaga menutup rapat pintu kayu bilik kecil di samping tungku, bilik tempatnya beristirahat setelah seharian berjibaku dengan bara dan tanah liat.
Nala duduk bersila di sudut ruang, menatap dinding bambu yang menghitam karena asap. Ranselnya sudah disimpan. Ayla putihnya terparkir tak jauh di luar. Ia sudah putuskan untuk tidak pulang malam ini.
Jaga meletakkan termos air panas dan dua cangkir tanah liat di lantai. Di dalamnya sudah ada kopi hitam tanpa gula, pahit seperti malam yang menunggu reda. Nala menerima satu cangkir, menghirup aroma hangat yang getir.
Tak ada banyak kata. Tapi kehadiran mereka mengisi ruang sempit itu dengan kehangatan ganjil yang tak bisa dijelaskan siapa pun. Hanya suara napas, dan denting sendok kecil di pinggir gelas.
Nala bersandar ke dinding. Peluh Jaga masih tersisa di dada dan lengannya, meski ia sudah sempat menyeka tubuh dengan handuk basah. Tubuh kekar itu berkilat diterpa cahaya temaram dari lampu minyak. Jaga duduk di dekatnya, hanya berjarak satu lutut.
"Besok kamu pulang pagi?" tanya Jaga pelan, tanpa menoleh.
"Iya. Tapi malam ini... aku istirahat di sini dulu, ya?"
Jaga mengangguk sekali. Tak ada keberatan. Hanya keheningan yang makin lama makin terasa nyaman.
Nala meletakkan cangkir kosong. Ia lalu merebahkan tubuh pelan-pelan ke tikar usang yang digelar di lantai tanah. Jaga ikut berbaring, di sisi yang lain, tapi lama-lama bergerak mendekat. Lengan keras yang biasa mengangkat cetakan bata kini menjadi sandaran kepala.
Nala memejamkan mata. Tak ada yang perlu diucapkan. Tak ada yang perlu dijelaskan.
Dalam malam sunyi itu, suara api, napas perlahan, dan detak jantung yang tak sinkron jadi melodi yang cukup. Dan pembaca tahu, apa pun yang terjadi malam itu, akan disimpan oleh langit desa—dan oleh mereka berdua.
---
JAGANALA – Episode 03 Bagian B
Judul Bagian: Pagi yang Tidak Sama Lagi
Mentari belum tinggi ketika Jaga membuka matanya. Bau tanah lembap dan asap kayu yang masih tersisa dari jobongan semalam memenuhi bilik. Tubuhnya masih berbaring, dan di sisi kirinya—Nala masih tertidur.
Kepala pemuda itu bersandar di lengannya, napasnya ringan, bibirnya sedikit terbuka. Rambutnya agak kusut, tapi kulit wajahnya tampak bersih dan damai dalam tidur. Jaga tidak bergerak. Ia hanya menatap wajah itu dalam diam, seperti sedang memastikan bahwa yang terjadi semalam bukan mimpi.
Tak ada peristiwa besar yang bisa dilihat siapa pun. Tapi ada sesuatu yang berubah dalam diri mereka—tak kasat mata, namun terasa.
Burung-burung kecil mulai bersahutan dari pohon randu di kejauhan. Nala menggeliat pelan, lalu membuka mata. Sekilas ia terlihat bingung, lalu sadar di mana ia berada. Ia tersenyum kecil tanpa kata, dan Jaga menjawab dengan anggukan.
“Aku kebablasan tidur,” ucap Nala, suaranya serak pelan.
“Enggak apa-apa. Nyenyak, ya?” tanya Jaga datar, tapi ada nada lembut yang tak biasa dari suaranya.
Nala hanya mengangguk. Ia duduk perlahan, lalu merapikan kerah kemeja yang sempat kusut. Setelah itu, berdiri, membuka bilik dan menatap pagi di luar. Uap tipis dari tanah basah naik pelan di antara tumpukan batu bata yang siap angkut.
“Aku pulang sekarang. Masih ada laporan yang harus aku selesaikan siang nanti,” kata Nala sambil menoleh ke dalam.
Jaga mengangguk. Ia pun bangkit, membetulkan celana pendek kerjanya. Lalu berjalan pelan ke luar, menghampiri mobil putih kecil yang diparkir di dekat semak ilalang.
Saat Nala membuka pintu mobil, ia menatap Jaga sekali lagi. Mata mereka bertemu. Tidak ada pelukan. Tidak ada salam tangan. Hanya tatapan dalam yang lebih dari cukup untuk mengatakan: “Kita tahu apa yang sudah terjadi.”
Mobil itu pun perlahan menjauh di jalanan tanah desa yang masih basah. Jaga berdiri mematung sejenak, lalu kembali ke jobongan—melanjutkan pagi seperti biasa.
Namun ia tahu, pagi ini bukan pagi yang sama lagi.
---
JAGANALA – Episode 03 Bagian C
Judul Bagian: Mandi, Lalu Lanjut Jalan
Jalanan mulai ramai. Truk-truk pengangkut hasil bumi melintas beriringan di jalur utama. Asap knalpot dan debu jalanan bercampur dengan hawa pagi yang belum sepenuhnya hangat. Di balik kemudi mobil kecil berwarna putih, Nala menyetir pelan, wajahnya tenang tapi sorot matanya kosong.
Kepalanya masih menyimpan aroma bilik semalam. Hangat ketiak Jaga. Peluh yang tak sempat mengering. Sentuhan yang terlalu nyata untuk disebut angan-angan.
Sekitar dua puluh menit perjalanan, Nala melihat papan petunjuk: SPBU 24.561.88 – 1 KM LAGI.
Ia menyalakan lampu sein kiri. Mobil Ayla putih itu pun masuk ke area SPBU yang belum terlalu ramai. Setelah memarkirkan kendaraan, Nala membuka pintu dan mengambil ransel hitam dari bangku belakang. Langkahnya tegap menuju bangunan kecil bertuliskan Toilet Umum.
Suasana sepi. Hanya ada satu bapak tua yang sedang menyapu halaman. Nala menyapa singkat, lalu membuka pintu toilet pria.
Sebelum masuk, ia merogoh saku celana dan mengambil selembar uang. Dengan sadar, ia memasukkan uang itu ke dalam kotak besi bertuliskan: Seikhlasnya untuk kebersihan.
Di dalam, ia membuka bajunya yang masih melekat aroma tanah dan tubuh laki-laki. Ia menatap cermin kecil buram di atas wastafel. Wajahnya tampak asing, tapi damai. Seperti ada sisi dirinya yang baru terungkap.
Air dari shower mengalir deras. Dingin. Tapi menyegarkan. Nala mandi cukup lama, seakan ingin menghapus debu perjalanan sekaligus menyegarkan pikirannya.
Ia mengenakan kemeja putih bersih yang dilipat rapi dari dalam tas. Celana panjang bahan warna krem. Lalu menyemprotkan sedikit parfum dari botol kecil yang selalu ia bawa. Wangi citrus lembut.
Sebelum keluar, ia merapikan rambutnya yang basah dengan jari. Sekali lagi, menatap cermin, lalu tersenyum kecil.
Sesaat setelah kembali ke mobil, ia menyalakan mesin, memasang sabuk pengaman, dan menatap lurus ke jalan.
Kota Madiun masih jauh. Tapi ia merasa sudah lebih ringan menjalani sisa hari ini.
---
JAGANALA – Episode 03 Bagian D
Judul Bagian: Terlintas Lagi di Kepala
Mobil Ayla putih itu melaju di jalan lintas provinsi, membelah sawah yang menguning dan perbukitan yang mulai diselimuti awan tipis. Di dalam kabin mobil, radio menyala pelan, memutar lagu lawas Ebiet G. Ade, tapi perhatian Nala tak tertambat pada lirik lagu atau pemandangan.
Kepalanya masih berat oleh bayang-bayang semalam.
Dia ingat jelas ketika tubuhnya menyusup di bawah ketiak Jaga yang hangat dan berbau maskulin. Betapa pelan napas Jaga turun naik, dada bidangnya mengembang tenang seperti alur sungai malam yang tak tergesa. Di saat itu, dunia seperti berhenti. Sunyi sekali. Hanya ada detak jantung dan tarikan napas mereka berdua. Tak ada kata, tapi penuh makna.
Nala mengembuskan napas. Tangannya menggenggam kemudi erat, berusaha tetap fokus. Tapi bayangan wajah Jaga, dengan garis rahang yang tegas, sorot mata yang jujur, dan senyumnya yang jarang muncul tapi selalu membekas—semuanya terus kembali.
Tiba-tiba, ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk. Ia menepi sebentar di pinggir jalan yang lengang dan membuka layar.
> Jaga:
“Nala… udah di mana sekarang? Tadi ayam di warung gak habis. Biasanya kamu yang ngabisin.”
Nala menghela napas. Senyumnya pelan. Jemarinya bergerak di atas layar.
> Nala:
“Masih di jalan, Mas. Rasa-rasanya… warung itu gak akan pernah sama rasanya kalau aku makan di sana sendirian.”
Beberapa detik kemudian, balasan masuk.
> Jaga:
“Kalau gitu, jangan sendirian. Kapan-kapan makan bareng lagi. Aku nunggu, Nala.”
Nala menatap layar cukup lama, sebelum akhirnya menyimpannya kembali di dasbor. Ia menyalakan mesin, dan kembali menyatu dalam arus jalanan. Kali ini dengan hati yang tak lagi kosong.
Ada seseorang yang menunggunya kembali. Dan itu sudah cukup membuatnya merasa pulang—meski sedang dalam perjalanan pergi.
---
JAGANALA – Episode 03 Bagian E
Judul Bagian: Langit yang Tak Lagi Sama
Mobil Ayla putih itu akhirnya tiba di pelataran rumah Nala menjelang waktu Ashar. Kota kecil itu masih seperti biasa: ramai tapi tak terlalu gaduh, dengan langit yang mulai meredup tertutup mendung tipis. Nala memarkirkan mobilnya perlahan, mematikan mesin, dan duduk sejenak di balik kemudi.
Ia tidak langsung turun.
Kepalanya bersandar di sandaran jok. Pandangannya kosong menatap ke depan, tapi pikirannya sibuk memutar ulang semua yang terjadi sejak ia tiba di warung batu bata—sejak pertama kali bertemu Jaga, dan malam itu, saat langit senja menjadi saksi bisu kedekatan mereka.
Hatinya kini seperti langit itu juga—senja yang tidak ingin buru-buru menjadi malam.
Ponselnya berbunyi. Kali ini bukan pesan. Panggilan suara dari nomor tak dikenal. Tapi Nala tahu, itu pasti Jaga. Ia menunggu beberapa detik sebelum mengangkatnya.
“Ya, Mas?” suara Nala lirih.
Suara Jaga terdengar dalam, agak serak, tapi jelas:
“Langit di sini mendung. Tapi nggak hujan. Tadi aku duduk sebentar di bangku bambu depan warung… kayak semalam.”
Nala menahan napas. Dadanya menghangat.
“Langit di sini juga mendung,” jawab Nala pelan, “tapi... rasanya beda. Bukan karena cuacanya. Tapi karena kamu nggak di sini.”
Terdengar helaan napas panjang dari seberang.
“Kalau kamu masih merasa sama, Nala… kita nggak perlu saling tunggu. Nanti kalau kamu balik lagi… aku anggap kamu milih tinggal.”
Nala menggigit bibir. Air matanya menggantung, tapi tidak jatuh.
“Satu hari nanti, Mas. Aku akan datang… bukan buat pergi lagi.”
Sambungan terputus.
Dan di luar, langit benar-benar mulai gerimis. Tapi tak mengapa. Karena di hatinya, Nala tahu: ia sedang belajar pulang—ke tempat di mana tubuh kurusnya diterima, meski tak gagah… ke pelukan seseorang yang panas tubuhnya seperti bara api, tapi teduh seperti tanah.
Dan langit pun tak lagi terasa sama.
---
Bersambung ...
Ke Episode 04