Selasa, 17 Juni 2025

Jaganala Episode 04: Untukmu, Sebelum Kamu Memintanya

Judul noveltron: JAGANALA
Nomor episode: 04
Judul episode: Untukmu, Sebelum Kamu Memintanya
Jumlah episode: 5
Penulis cerita: -
Naskah ditulis di Pacitan, 16-17 Juni 2025

---

JAGANALA — Episode 04 Bagian A
Bahasa Tubuh yang Tak Berhuruf

Senin, 16 Juni 2025, pagi. Matahari baru naik sejengkal di ufuk timur ketika Nala menyibak tirai kamarnya di sebuah gang kecil di Kota Madiun. Burung-burung pipit berkicau riang di antara kabel listrik yang menjuntai, tapi tak satu pun suara itu berhasil menenangkan isi kepalanya. Sudah dua malam berlalu sejak ia pulang dari desa tempat Jaga tinggal dan membuat batu bata. Tapi bayangan laki-laki itu terus mengikuti ke mana pun ia melangkah.

Nala berdiri lama di depan cermin, menatap dirinya sendiri. Kemeja putih lengan pendek yang ia kenakan tampak bersih dan rapi seperti biasa, tapi ada yang berbeda di wajahnya. Semacam... rindu yang tidak bisa ia tolak. Ia menghela napas panjang, menyentuh lehernya sendiri—mengusap bekas hangat lengan kekar Jaga saat tidur bersama di bilik sempit itu. Malam yang tidak banyak kata, namun tubuh mereka bicara dengan bahasa yang tak butuh ejaan.

Di dapur kecil, ia menyeduh secangkir teh panas. Bukan es teh seperti yang biasa dipesan pengunjung warung. Ia belajar dari Jaga bahwa hidup yang terlalu dingin bisa bikin kaget jantung. Lagi pula, ia ingin mempertahankan sedikit kebiasaan dari laki-laki tanpa atasan itu. Seolah dengan menyesap teh panas perlahan, ia bisa mengulang malam itu.

Telepon genggamnya bergetar di atas meja. Sebuah pesan masuk dari kantor tempatnya bekerja:
"Pak Nala, kalau tidak ada perubahan jadwal, pengiriman tahap dua akan dijadwalkan akhir pekan ini. Lokasi sama, volume lebih banyak. Mohon segera pastikan ke mitra di lapangan."

Nala diam. Pikirannya langsung melayang pada Jaga.

Perutnya mendadak hangat, bukan karena teh, tapi karena kemungkinan ia akan melihat laki-laki itu lagi. Entah kenapa, yang pertama terlintas bukan urusan bata, bukan jumlah truk, bukan dokumen pengantar. Tapi ... lengan gelap yang berkilat karena keringat. Aroma tubuh maskulin bercampur debu tanah. Mata tajam yang diam-diam lembut saat menatapnya di senja hari.

Ia melirik kalender dinding. Hari ini baru Senin. Masih lima hari lagi menuju akhir pekan.
Lima hari? Terlalu lama.

Nala menghembuskan napas panjang dan mengangguk pada dirinya sendiri.
“Mungkin... aku bisa datang lebih awal. Sekalian pastikan jumlah bata yang sudah siap,” gumamnya pelan.

Tapi ia tahu, alasan sebenarnya bukan itu.
Dan hatinya pun tahu...
Jaga pun pasti tahu.

---

JAGANALA — Episode 04 Bagian B
Langit Rendah, Rindu Tinggi

Pagi itu, sinar matahari belum terlalu tinggi saat Nala menyusuri jalanan desa dengan mobil kecilnya, Ayla putih yang baru saja keluar dari bengkel cuci semalam (Ahad, 15 Juni 2025, malam) masih ada sisa embun di kaca spion dan beberapa daun basah tergeletak di pinggir jalan. Musik dari radio memutar lagu lawas Didi Kempot dengan volume pelan, sekadar teman dalam perjalanan.

Perasaannya campur aduk. Ia belum bisa percaya bahwa dirinya kemarin malam (Sabtu, 14 Juni 2025, malam) tidur di bilik bambu, dengan Jaga yang kini tak lagi hanya sekadar pembuat batu bata, melainkan seseorang yang mulai menempati ruang kecil di hatinya. Seseorang yang berbeda. Bukan karena tubuhnya yang kekar dan peluhnya yang maskulin, tapi karena tatapan matanya yang jujur dan cara bicaranya yang selalu apa adanya.

Di pertigaan pasar kecil, Nala sempat memperlambat laju mobil. Ada warung kopi yang biasa ramai oleh para petani dan tukang. Tapi pagi ini, ia hanya memperhatikan dari kejauhan, teringat saat pertama kali melihat Jaga. Tubuh Jaga tanpa atasan, hanya bercelana jeans lusuh pendek dan duduk santai sambil menghisap Surya sambil sesekali menyesap kopi Kapal Api panas.

"Dia nggak butuh banyak gaya," gumam Nala, menyalakan lampu sein dan mengambil jalur ke arah jalan besar.

Nala sempat melirik jam digital di dashboard. Masih pukul 07.12. Ia memperkirakan akan selesaikan kerjanya sekitar pukul sembilan lewat, cukup waktu untuk mampir ke minimarket langganannya sebelum bertemu klien batu bata yang sudah menjanjikan pembayaran.

Mobil itu terus melaju perlahan. Di pikirannya, suara Jaga semalam terus terngiang. Kata-kata sederhana yang justru menghantam dalam.

"Kalau kamu capek, jangan sok kuat. Orang kayak kamu itu bukan dari dunia saya, tapi kalau kamu mau balik ke sini... saya nggak akan nanya banyak-banyak."

Nala tersenyum simpul. Ia tahu maksud kalimat itu. Di balik sikap dingin Jaga, tersimpan sesuatu yang hangat. Bukan rayuan, bukan basa-basi. Tapi ketulusan yang tak dibuat-buat.

Sesaat, Nala melambatkan mobil dan menepi di sebuah minimarket dekat gapura perbatasan kecamatan. Ia masuk, membeli dua botol air mineral dan sebungkus roti sobek isi cokelat.

Begitu keluar dan masuk mobil lagi, ia memandangi ponselnya. Ada satu pesan masuk. Isi pesan:

"Jangan lupa makan. Jalan pelan-pelan. – J"

Nala terdiam. Lalu mengetik pelan, “Kopi Kapal Api masih ada?” tapi urung mengirim.

Ia hanya tertawa kecil sendiri. Lalu menyalakan mesin mobil dan melanjutkan perjalanan.

---

JAGANALA — Episode 04 Bagian C
Cangkir Tanah Liat dan Senyum yang Tertinggal

Nala kembali duduk di balik kemudi. Jam digital di dashboard mobil menunjukkan pukul 07.31 WIB. Kota Madiun mulai sibuk. Lalu lintas di jalan utama mulai padat, toko-toko mulai buka, dan aroma pagi kota mulai terasa akrab di hidungnya.

Ia menyalakan mesin mobil, menaruh botol air mineral di cup holder, dan menggigit roti sobek isi cokelat sambil perlahan memasuki jalur utama menuju kantor pemasok bahan bangunan tempat ia akan bertemu klien.

Setelah sekitar dua puluh menit menyusuri jalan kota dan beberapa perempatan kecil, Nala tiba di area gudang pemasok yang sekaligus menjadi kantor administrasi kecil. Plang toko bertuliskan “CV Rahayu Jaya Makmur – Supplier Material Bangunan” tampak mencolok di gerbang masuk.

Mobilnya diparkir rapi di bawah pohon ketapang. Ia masuk ke dalam dengan map berisi dokumen pengiriman dan nota pesanan.

Di dalam, ia disambut pria berkemeja batik yang sudah cukup familiar.

“Mas Nala, wah tepat waktu,” sambut pria itu.

“Siap, Pak Surya,” balas Nala ramah.

Mereka duduk di meja kayu tua, membicarakan pesanan batu bata merah yang telah dikirim dari Pacitan tepat waktu. Nala menyerahkan dokumen bukti pengiriman dan konfirmasi dari sopir truk.

Pak Surya membaca cepat, lalu mengangguk.

“Barangnya sudah dicek, dan sesuai. Ini pelunasannya, ya,” katanya sambil menyerahkan amplop cokelat.

Nala menerimanya, menghitung sekilas, lalu mencatat dalam buku kecilnya.

“Terima kasih, Pak. Kalau ada pesanan lagi, saya siap bantu,” katanya.

Pak Surya tertawa kecil. “Anak muda rajin seperti kamu ini yang bikin nyaman kerja sama.”

Sekitar pukul 09.00 WIB, urusan selesai. Nala pamit dan kembali ke mobil. Amplop itu disimpan rapi di dalam tas selempangnya.

Sebelum menyalakan mesin, ia duduk sejenak. Matanya menatap ke kejauhan—melampaui jalanan, lalu ke langit. Pikirannya kembali ke warung batu bata. Ke senyum lelah Jaga, dan kopi hitam dalam cangkir tanah liat.

Lalu ke pesan singkat pagi tadi:

J: Jangan lupa makan. Jalan pelan-pelan.

Perhatian kecil, tapi... bukan sembarang perhatian.

Nala memejamkan mata sejenak. Lalu ia tersenyum dan berkata pelan, “Oke, Mas Jaga. Aku makan dulu. Nanti siang nyetir balik lagi.”

Ia kemudian melajukan mobilnya ke arah pujasera modern yang cukup ramai dan terkenal di Kota Madiun.

---

JAGANALA — Episode 04 Bagian D
Sekali-kali Makan Enak, Sekali-kali Merindu

Setelah urusan bisnis selesai, Nala memarkir mobilnya di area parkir sebuah pujasera modern yang cukup ramai di tengah Kota Madiun. Tempat itu ramai, tapi tetap terasa nyaman. Warna-warni spanduk makanan dari berbagai penjuru daerah menggoda selera.

Ia baru saja menerima bonus dari kantor—transfer langsung masuk ke rekening setelah menyelesaikan target pengiriman batu bata bulan ini. Bukan angka yang besar untuk ukuran kota besar, tapi cukup membuatnya ingin memberi hadiah kecil untuk dirinya sendiri.

“Sekali-kali makan enak,” gumamnya sambil tersenyum, turun dari mobil.

Nala memilih tempat duduk di sudut ruangan, dekat jendela besar yang menghadap taman kecil dengan air mancur mungil. Ia memesan ayam sambal keju mozzarella, es teh tarik jumbo, dan seporsi dimsum kukus.

Ia tahu makanan di sini lebih mahal dari warung langganannya di sekitar kantor. Tapi hari ini, ia tak mau menahan diri. Bukan soal gengsi. Ini bentuk penghargaan untuk dirinya sendiri. Tubuh kurusnya sudah bekerja keras, berpacu waktu, menahan kantuk dan lelah demi pengiriman tepat waktu. Dan kini ia boleh rehat sejenak, walau hanya dengan makanan.

Saat makanan datang, aroma pedas dan keju leleh memenuhi udara di sekitarnya. Ia tersenyum puas, mengambil ponsel dan membuka galeri. Foto terakhir yang ia ambil: gambar Jaga, diam-diam difoto dari dalam mobil kemarin pagi saat Jaga duduk di depan warungnya, masih mengenakan celana jeans pendek tanpa baju atasan.

Nala menatap layar. Lalu bergumam pelan, “Coba kamu di sini, Ga…”

Ia mengambil sendok dan mulai makan. Setiap suapan seperti menenangkan pikirannya, tapi sekaligus membuatnya merasa sepi. Ada perasaan yang belum selesai. Ada ikatan yang belum jelas bentuknya.

Tapi ia tak mau merusaknya dengan harapan berlebihan. Ia hanya ingin menikmati rasa di lidahnya. Rasa asin, gurih, manis, dan pedas yang berpadu. Seperti rasa-rasa yang sedang tumbuh di hatinya.

---

JAGANALA — Episode 04 Bagian E
Untukmu, Sebelum Kamu Memintanya

Selesai makan siang dan merasa kenyang serta puas, Nala tak langsung pulang. Ia kembali duduk di dalam mobilnya yang terparkir teduh. AC dinyalakan pelan, lalu ia membuka ponsel dan membuka Instagram. Dua akun yang sudah lama ia ikuti muncul paling atas:
@apple_suncitymallmadiun dan @ibgadget.madiun.

Ia mengusap layar pelan sambil memantau promo. Foto-foto iPhone 16 terbaru memenuhi feed, lengkap dengan detail fitur, garansi resmi, dan potongan harga untuk pembelian langsung di Sun City Mall Madiun.

“Lumayan juga,” gumamnya sambil menimbang-nimbang. “Spesifikasi cocok buat kerja. Kamera juga lebih jernih buat dokumentasi proyek. Nggak malu-maluin juga kalau dibawa rapat.”

Ponsel Infinix Smart 8-nya, meskipun masih berfungsi, sudah sering lemot dan terasa kurang mumpuni saat membuka banyak aplikasi sekaligus. Bahkan beberapa file kerja pernah gagal tersimpan. Ia tahu, sudah saatnya ganti.

Tapi niatnya bukan hanya untuk dirinya sendiri.

Ia menoleh ke ponsel lamanya itu. Tersenyum pelan. “Kalau aku beli iPhone baru… kayaknya kamu cocok buat Jaga.”

Mata Nala menatap jauh ke depan kaca mobil, seolah membayangkan Jaga sedang duduk di depan rumah, memegang ponsel dan tertawa-tawa menonton video lucu, atau mengetik pesan pendek.

“Setidaknya, kamu jadi bisa akses internet dengan lebih mudah, Ga,” ucapnya pelan, seolah Jaga ada di dekatnya. “Nggak cuma berkutat sama batu bata dan tungku pembakaran.”

Ia membayangkan bagaimana reaksi Jaga menerima ponsel itu. Mungkin kaku. Mungkin malu-malu. Tapi pasti ada rasa senang, meski tak diucapkan. Jaga memang tak pandai berkata manis, tapi dari gerak tubuh dan raut wajahnya, Nala bisa membaca semuanya.

Ia mengembuskan napas pelan, lalu menyalakan mesin mobil.

---