Senin, 16 Juni 2025

Jaganala Episode 05: Ruang di Antara Waktu

Judul noveltron: JAGANALA
Nomor episode: 05
Judul episode: Obrolan Adem di Tengah Kendi 
Jumlah episode: -
Penulis cerita: -
Naskah cerita ditulis di Pacitan, 16 Juni 2025

---

Episode 05 – Bagian A
Tujuh Hari yang Sunyi

Sudah tujuh hari sejak Nala meninggalkan warung batu bata milik Jaga.

Selama seminggu penuh, kesibukan di kantor cabang Madiun membuat Nala seolah tersedot dalam rutinitas—meeting, penyesuaian logistik, dan pengawasan proyek baru yang memaksanya harus turun langsung ke lapangan. Tapi setiap kali ia beranjak istirahat di sore hari, bayangan lelaki bertubuh kekar yang tinggal di balik bilik bambu itu kembali hadir, meski hanya lewat ingatan.

Di kost-nya yang rapi dan minimalis, Nala duduk bersandar pada tembok dengan laptop di pangkuan. Sebuah daftar tugas terbuka di layar, tapi pikirannya tidak sepenuhnya ada di sana. Ia membuka galeri ponselnya dan melihat foto-foto dari warung batu bata—tanpa sadar tersenyum melihat wajah Jaga yang polos dan tulus dalam frame candid yang ia ambil diam-diam.

Belum ada kabar lagi dari Jaga sejak pesan singkat terakhir yang hanya berisi, “Hati-hati ya, Nala.”
Pesan itu dikirim tiga hari lalu. Sejak itu, hening.

Nala sempat berniat mengirimkan foto iPhone 16 barunya sebagai cara tidak langsung untuk membuka percakapan. Tapi ia urungkan. Terlalu mencolok. Terlalu pamer. Ia tak ingin Jaga salah paham.

Ponsel lamanya—Infinix Smart 8—sudah ia bersihkan dan masukkan ke kotak kecil. Di atas meja, paket itu kini tampak seperti hadiah yang belum sempat dikirim. Nala hanya belum menemukan momen yang tepat. Atau, sebenarnya, ia sedang mencari alasan untuk kembali.

Sore itu, Nala duduk di balkon kost lantai dua. Angin tipis meniupkan aroma petang yang khas dari kota Madiun. Di kejauhan, suara azan Magrib sayup terdengar dari masjid.

Ia menghela napas, lalu membuka aplikasi chat dan mengetik pelan:

> “Mas Jaga, sehat, kan? Gimana kabarnya? Seminggu ini aku kejar target. Alhamdulillah, semua beres.”

Tapi ia ragu. Tidak langsung mengirim. Ia kembali menatap kotak berisi ponsel lamanya. Lalu menulis satu baris tambahan:

> “Aku ada sesuatu buat Mas. Boleh kukirim lewat J&T? Atau... sekalian aja aku yang antar?”

Jari telunjuknya gemetar sebentar sebelum menekan tombol kirim.

Pesan terkirim. Centang satu. Belum dibaca.

Nala bersandar kembali ke sandaran balkon, menatap langit yang perlahan menggelap.

"Kalau dia nggak bales juga... ya mungkin aku yang harus datang duluan." gumamnya.

Dan diam-diam, ia berharap langit esok pagi cukup cerah untuk sebuah perjalanan pulang.

---

Episode 05 – Bagian B
Tak Ada Balasan

Sudah hampir dua puluh empat jam sejak pesan itu terkirim. Masih centang satu.

Nala mulai gelisah, meski ia sendiri merasa tak seharusnya. Bukankah Jaga memang bukan tipe yang selalu pegang ponsel? Mungkin sinyal di desa itu sedang tidak baik. Atau, bisa jadi, ponsel Asus lamanya benar-benar sudah menyerah.

Sambil menyuap nasi pecel dengan tempe goreng di warung langganannya dekat kantor, Nala membuka Instagram. Ia mengetik pelan: @jnt_expresspacitan. Lalu lanjut membuka Google Maps dan mengetik "Warung Batu Bata Jaga". Tidak ada yang muncul. Ia mendesah pelan.

“Masih seperti dulu. Dunia kecil miliknya belum tersentuh Maps,” gumamnya lirih.

Seketika, ide itu muncul. Bukan untuk kirim paket. Tapi untuk datang langsung.

Setelah makan, ia melaju ke toko ATK untuk membeli kardus kecil, bubble wrap, dan stiker pengaman. Ia mengemas ponsel Infinix-nya dengan rapi, lengkap dengan charger dan catatan tangan:

> “Mas Jaga,

HP ini mungkin nggak canggih banget, tapi cukup buat dengerin musik, buka WhatsApp, atau sekadar nonton video lucu kalau lagi suntuk. Jangan lupa di-charge ya.

Salam dari kota,

– Nala.”

Malamnya, di kamar kost, Nala duduk termenung di samping tas kerja yang belum dibongkar sejak dua hari lalu. Ia memandang kardus itu cukup lama. Lalu membuka peta.

Perjalanan dari Kota Madiun ke lokasi warung Jaga membutuhkan waktu sekitar 3 jam.

Tanpa pikir panjang, Nala membuka WhatsApp dan menghubungi seseorang:

> “Mas Fauzi, saya mau ambil cuti sehari, besok. Cuma pengurusan pribadi.”

Balasan cepat datang:

> “Oke, Mas Nala. Monggo. Minggu ini panjenengan udah kerja keras, waktunya rehat. Jaga kesehatan ya.”

Senyum tipis muncul di wajah Nala. Untuk pertama kalinya dalam tujuh hari ini, dadanya terasa lebih ringan.

Ia menyiapkan ransel kecil, memasukkan pakaian ganti, air minum, dan tentunya, kardus kecil berisi hadiah untuk Jaga.

Pagi-pagi sekali esok harinya, sebelum matahari tinggi, Nala menyalakan mesin Daihatsu Ayla putihnya, memeriksa bensin, dan mengecek ulang lokasi di Google Maps. Ia membawa ransel kecil, air minum, dan kotak kardus kecil berisi ponsel Infinix yang telah ia kemas dengan rapi.

Ia akan menyusuri jalan lintas kabupaten menuju tempat yang ... tidak pernah ia sangka akan ia rindukan secepat ini.

Bukan karena pekerjaan. Bukan karena proyek. Tapi karena ingin melihat seseorang.

---

Episode 05 – Bagian C
Melaju Mantap

Mobil putih Nala melaju mantap di antara jalanan lengang pagi itu. Pepohonan di pinggir jalan bergerak pelan ditiup angin, seperti menyambut kedatangannya kembali ke tempat yang sepekan lalu begitu membekas dalam ingatan.

Setibanya di gapura perbatasan, Nala memperlambat laju mobil. Ia menarik napas panjang. Seolah waktu bergerak mundur. Ia kembali melihat bayang-bayang Jaga yang berdiri tanpa atasan, dengan sorot mata jujur dan tubuh yang menguar aroma tanah.

Nala tersenyum sendiri.

Beberapa menit kemudian, ia berbelok ke jalan tanah kecil menuju dusun. Jalannya belum diaspal, sedikit bergelombang, namun cukup bersahabat untuk kendaraan kecil. Ia menyapa beberapa petani yang lewat, dan menurunkan kaca untuk bertanya arah sekedar sopan santun padahal sudah tahu dengan jelas lokasi yang dituju.

"Warung batu bata, Pak?"
"Terus aja, Mas. Nanti kelihatan gundukan bata dan genteng. Itu pasti tempatnya."
"Maturnuwun, Pak."

Tak lama, bangunan sederhana dengan susunan bata merah rapi mulai tampak. Di salah satu sudut terlihat tumpukan batu bata yang baru dibakar, tersusun seperti miniatur tembok benteng.

Dan di antara asap tipis dari tungku belakang bangunan itu, terlihat sesosok pria bertelanjang dada dengan celana komprang warna abu, tengah memindahkan bata dengan ritme mantap. Jaga.

Nala mematikan mesin mobil. Keluar pelan-pelan. Suasana seketika hening. Angin seperti tertahan. Jaga yang mendengar langkah kaki langsung menoleh.
Tatapan mereka bertemu.

Nala mengangkat tangan. “Halo.”
Jaga meletakkan bata terakhirnya. “Lho... kok tumben?”
“Katanya kalau rindu harus berani pulang.”
Jaga tertawa pelan, “Wong kota kok pulang ke dusun?”
“Ya, mungkin... hatiku ternyata tinggal di sini.”

Jaga menghampiri. Keringat di dahinya masih menetes. “Kowe ngopi sik?”
Nala mengangguk. “Tapi sekarang aku bawa sesuatu buatmu.”

Ia membuka pintu belakang mobil, mengambil kotak ponsel yang telah ia kemas.
“Buatku?” tanya Jaga, keningnya berkerut.
“Infinix-ku, masih bagus. Layarnya bening, kameranya jernih. Kamu bisa pakai buat WhatsApp atau nonton YouTube kalau lagi istirahat.”
Jaga menatapnya, lama. “Tapi aku... ora biasa megang beginian.”
“Biasa itu karena belum mencoba.”

Jaga mengambil kotak itu, membuka perlahan, menatap ponsel itu seolah melihat benda asing.
“Ini beneran buatku?”
“Beneran. Anggap aja hadiah... dari orang kota yang mulai betah sama dusun.”

Jaga tak menjawab. Tapi sorot matanya menghangat, dan senyumnya tidak lagi canggung.

Dari dapur sederhana warung batu bata, uap air dari ceret mulai mengepul.
Aroma kopi hitam pelan-pelan menguar.
Dan hari itu, mereka kembali duduk berdampingan. Seperti sepasang sahabat yang tidak lagi perlu banyak kata.

---

Episode 05 – Bagian D
Kopi Hitam di Cangkir Tanah Liat

Kopi hitam di cangkir tanah liat mengepul perlahan. Duduk bersisian di bangku panjang dari kayu jati bekas, Nala dan Jaga menikmati pagi yang terasa teduh di antara aroma tanah, asap pembakaran bata, dan wangi daun pisang dari dapur belakang.

Nala menyeruput pelan, lalu melirik Jaga yang masih terpaku menatap layar ponsel barunya.
“Tahu nggak, aku dulu juga gaptek banget,” kata Nala.
Jaga meliriknya, “Lha iya... tapi sekarang kamu bisa benerin gawai, bahkan tahu harga iPhone 16 terbaru.”

Mereka tertawa.
“Ya karena kebutuhan. Dunia bergerak cepat, Ga. Tapi tenang, kamu juga pasti bisa belajar pelan-pelan,” ucap Nala, meletakkan cangkirnya.
“Tak coba buat WA-an sama kamu, ya. Tapi kamu jangan ngajari yang aneh-aneh,” kata Jaga setengah malu.
“Lho, aku ngajari hal baik aja. Supaya kamu bisa kirim foto batu bata ke pelanggan, misalnya.”

Jaga manggut-manggut. Ia menoleh ke arah rak kayu tempat kendi air berada.
“Nal... kamu dulu tanya kendi itu apa, kan?”
Nala mengangguk, tersenyum.
“Itu warisan dari Mbah Kakung. Sejak kecil aku diajari ngisi air ke kendi, ditutup daun pisang, ditaruh di pojokan rumah. Rasanya adem. Lebih enak dari kulkas.”
“Terbuat dari apa, sih?”
“Tanah liat, sama kayak bata. Tapi dibentuk halus, dibakar lebih lembut, dan nggak boleh kena api langsung.”
“Unik banget. Sekarang di kota udah jarang kulihat kendi.”

Jaga berdiri, lalu menuangkan air dari kendi ke gelas kaca.
“Coba deh.”
Nala meminumnya perlahan. Matanya melebar. “Astaga, ini... segar banget!”
Jaga tersenyum puas. “Itu air sumur belakang. Nggak dicampur es, tapi bisa bikin adem hati.”

Hening sejenak. Angin bertiup pelan.
Suara ayam jantan dari kejauhan terdengar menyambut siang.

Nala mendongak ke langit. “Kadang aku iri, kamu hidup di tempat seperti ini. Jauh dari bising, tapi tetap sibuk. Ada makna dalam tiap lelahmu.”
Jaga hanya menatapnya. Ada jeda di antara mereka yang terasa nyaman, bukan canggung.
“Kamu juga sibuk, tapi sibukmu beda. Keringatmu di balik layar. Tapi tetap... sama-sama berarti.”

Dan mereka tertawa lagi, menertawakan hal kecil yang membuat hari itu terasa seperti hari besar.

---

Episode 05 – Bagian E
Obrolan Lebih Adem di Tengah Lenggakan Air dari Kendi

Langit senja mulai berubah warna. Cahaya keemasan menari di sela-sela pepohonan, menembus bilik bambu dan menyapu wajah Nala yang masih duduk bersila. Sementara Jaga sedang menyapu halaman dari sisa-sisa serpihan bata yang tadi dibelah untuk kualitas uji.

Nala memperhatikan Jaga dari balik seruputan air kendi yang baru saja disodorkan. "Kamu sadar nggak sih, kalau sejak awal kita ketemu... kita kayak udah klik aja gitu?"

Jaga menoleh, keningnya sedikit berkerut, lalu tertawa kecil. “Klik-nya kayak ponselku yang retak itu?”

Nala ikut tertawa. “Retaknya justru bikin kamu beda dari yang lain.”

Suasana kembali hening sebentar. Burung-burung mulai bergegas pulang. Sementara embusan angin membawa bau tanah basah dan aroma kayu dari bilik belakang.

Jaga duduk di sebelah Nala. “Kalau nanti aku ikut kamu ke kota, kamu yakin aku bisa cocok?”

“Yang penting bukan soal cocok atau enggak. Tapi niatnya. Kamu niat bantu aku dan aku juga nggak mau ninggalin kamu di sini terus.”

Jaga mengangguk pelan. “Kita bikin segalanya bareng-bareng. Mulai dari nol. Atau... dari batu bata.”

Nala tersenyum lebar. “Aku suka cara pikir kamu.”

Jaga menunjuk kendi. “Airnya enak, kan?”

“Enak. Tapi obrolannya lebih bikin adem.”

Sore itu, warung batu bata berubah jadi tempat istirahat jiwa. Mereka tidak butuh banyak kata. Hanya isyarat, tawa, dan sedikit harapan yang tumbuh dalam diam.

Bersambung ...

Ke Episode 06

---

Genre dari noveltron JAGANALA adalah:

🌿 Romantis Drama Slice of Life (BL/Yaoi) dengan subgenre:

Contemporary Romance (BL) — kisah cinta antara dua laki-laki (Boys’ Love) yang dibangun secara realistis, perlahan, dan emosional.

Slice of Life — menggambarkan kehidupan sehari-hari masyarakat Jawa modern, mulai dari suasana desa, pekerjaan manual (batu bata), sampai dinamika kerja kota (seperti dunia sales dan kosan perkotaan).

Coming-of-Age / Personal Growth — terutama untuk tokoh Nala yang mengalami banyak refleksi batin, keputusan dewasa, serta tanggung jawab pekerjaan dan relasi.

Kultural Lokal / Etnografi Jawa Modern — karena banyak unsur budaya dan kebiasaan khas masyarakat Jawa masa kini disisipkan secara otentik (misalnya: kendi, bahasa halus, kos harian, hingga selera musik).

Secara umum, JAGANALA adalah noveltron BL realistis berbalut nuansa lokal dan emosional, tidak hanya berfokus pada percintaan, tetapi juga pada perjalanan hidup, ekonomi, pilihan hidup, dan penerimaan diri.