Berikut adalah novelet bergaya realistis dan membumi dalam semesta Darma Wirya Multiverse. Cerita ini berdiri sendiri, tidak terhubung dengan Darma Wirya, namun tetap mengusung nuansa kehidupan nyata Indonesia masa kini.
Novelet: Seragam Putih Abu-Abu, Langkah yang Baru
Bagian A: Kakak Kelas, Kakak Kos
Namanya Fauzan Maulana, kelas XII IPA 1, wakil ketua OSIS dan sekaligus juru bicara tim debat sekolah. Tubuhnya tinggi, tegap, dan wajahnya sering dianggap “terlalu dewasa” untuk ukuran anak SMA. Tapi di mata Aqil Ramadhan, siswa baru kelas X IPS 2, Fauzan bukan hanya senior di sekolah. Ia juga kakak kos yang satu atap dan satu dapur.
Kos mereka terletak di gang kecil belakang pasar tradisional, sepuluh menit jalan kaki ke SMA Negeri 6. Fauzan sudah tinggal di situ selama dua tahun, sedangkan Aqil baru datang dari Bangkalan dua minggu lalu.
Hubungan mereka dimulai dari kesalahpahaman sederhana: Aqil sempat memakai handuk Fauzan tanpa tahu itu milik siapa. Tapi alih-alih marah, Fauzan cuma berkata, “Lain kali tanya dulu ya. Tapi kamu bisa pakai, aku punya cadangan.”
Sejak saat itu, Aqil diam-diam menaruh hormat. Fauzan tidak seperti senior-senior lain yang suka membentak atau merasa superior. Ia lebih seperti... abang kandung yang tak pernah Aqil punya.
Bagian B: Di Balik Dasi Abu-Abu
Aqil mulai terbiasa dengan rutinitas pagi: bangun pukul lima, salat subuh, mencuci muka di kamar mandi bersama, lalu bersiap berangkat ke sekolah bersama Fauzan. Meski tidak sekelas, mereka sering terlihat berjalan berdua — sesuatu yang membuat banyak siswa baru lain merasa iri sekaligus heran.
“Kenapa sih si Fauzan bisa akrab sama anak baru begitu?” tanya teman sekelasnya suatu hari.
Fauzan hanya tersenyum saat mendengarnya. Di balik tubuh tegap dan suara tenangnya, ia menyimpan rahasia yang jarang ia bagi: ibunya sudah sepuh dan tinggal sendiri di kampung halaman, sementara ayahnya sudah lama meninggal. Karena itu, ia merasa bertanggung jawab menjaga siapa pun yang lebih muda — apalagi anak kos satu atap.
Suatu malam, saat listrik kos padam dan kamar menjadi gelap gulita, Aqil berani bertanya, “Kak Fauzan, kenapa Kakak baik banget ke aku?”
Jawaban Fauzan sederhana, lirih di tengah gelap: “Karena dulu, waktu aku baru di sini, nggak ada yang begitu ke aku.”
Bagian C: Ujian dan Ucapan yang Tak Terucap
Bulan November datang bersama Ujian Akhir Semester. Fauzan tenggelam dalam latihan UTBK, Aqil sibuk adaptasi dengan gaya guru dan sistem penilaian. Mereka mulai jarang ngobrol, meskipun tetap saling menyapa dan sesekali ngopi sachet di depan kamar masing-masing.
Suatu malam, Aqil mendapati Fauzan duduk sendiri di tangga kos, menatap langit.
“Lagi mikirin apa, Kak?” tanya Aqil pelan.
“Takut gagal. Aku nggak tahu apa yang terjadi kalau aku nggak lolos SNBT nanti. Ibuku berharap besar. Aku takut ngecewain dia.”
Aqil terdiam. Ia tak bisa memberi solusi, tapi bisa duduk di samping dan ikut menatap langit yang sama. Di situ, ia sadar: bahkan orang yang terlihat kuat pun punya gentar dalam diam.
Malam itu, tanpa banyak kata, keduanya saling paham. Dan esoknya, seperti biasa, mereka berangkat sekolah bersama — dasi abu-abu terpasang rapi, meski hati kadang compang-camping.
Bagian D: Satu Foto, Banyak Cerita
Suatu Sabtu, seusai jam sekolah, Aqil menarik tangan Fauzan ke toko pakaian.
“Apa-apaan sih?” Fauzan tertawa.
“Foto dulu! Biar nanti kalau Kakak lulus, aku masih punya kenangan.”
Fauzan sempat mengelak, tapi akhirnya ikut berdiri di depan cermin toko. Aqil mengangkat ponsel, mengatur posisi, lalu... klik! — satu foto mereka berdua, seragam rapi, ekspresi ceria, dan tangan menunjukkan simbol kemenangan.
Saat melihat hasil fotonya, Fauzan berkata pelan, “Lucu juga, ya. Kita kayak adik kakak beneran.”
Aqil hanya tersenyum kecil. Ia ingin menjawab, “Iya, dan Kakak satu-satunya yang bikin aku betah di kota ini.” Tapi ia tahan. Karena tidak semua rasa harus diucapkan.
Bagian E: Lulus, Lanjut, dan Langkah Sendiri
Waktu berjalan cepat. Fauzan lulus dengan nilai bagus dan diterima di Universitas Negeri Malang lewat jalur prestasi. Di hari keberangkatannya, ia sempat mampir ke ruang kelas Aqil, menitipkan satu map cokelat.
“Ini jadwal les UTBK dan contoh soal. Kamu bisa pakai. Belajar pelan-pelan, ya. Tahun depan, gantian kamu yang siap berangkat.”
Aqil memeluknya cepat. “Terima kasih, Kak. Hati-hati di sana.”
Dan seperti itu, Fauzan pergi — tidak sebagai pahlawan, bukan juga tokoh besar — tapi sebagai bagian dari cerita kecil dalam hidup seseorang yang dulu datang dengan tangan kosong.
Aqil berdiri lama di gerbang sekolah hari itu, memandangi jalan yang makin sepi. Lalu ia membuka ponsel, melihat lagi foto mereka berdua — dan tersenyum.
Karena meski hanya sebentar, Fauzan telah mengajarkannya bahwa dunia ini bisa menjadi tempat yang lebih ringan... kalau kita bersedia jadi kakak untuk satu sama lain.
Tamat.
Genre novelet Seragam Putih Abu-abu, Langkah yang Baru dalam semesta Darma Wirya Multiverse dapat diklasifikasikan sebagai:
🎓 Coming-of-Age (Drama Remaja Realistis)
Subgenre: Persahabatan & Pencarian Jati Diri
Ciri khas dari genre ini dalam novelet tersebut:
- Tokoh-tokohnya remaja SMA yang sedang berada dalam masa transisi menuju kedewasaan.
- Cerita menyajikan dinamika kehidupan sekolah, seperti persahabatan, tekanan sosial, perasaan tidak percaya diri, dan keputusan masa depan.
- Tidak mengandung unsur fantasi, kekerasan berlebihan, atau dramatisasi ekstrem—semua peristiwa bisa terjadi di kehidupan nyata siswa Indonesia masa kini.
- Tema utamanya adalah pencarian arah hidup, perubahan, dan keberanian mengambil langkah baru.
Genre ini kuat membentuk kedekatan emosional pembaca karena menggambarkan fase hidup yang pernah (atau sedang) dilalui oleh banyak orang, khususnya di Indonesia: masa putih abu-abu yang penuh gejolak dan harapan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar