Rabu, 18 Juni 2025

Tangkapan Terakhir di Kali Cipeundeuy

Berikut adalah novelet bergaya realistis berjudul “Tangkapan Terakhir di Kali Cipeundeuy”, terdiri dari lima bagian, membumi dan relevan dengan kehidupan masyarakat Indonesia masa kini, dalam semesta Darma Wirya Multiverse, namun tidak terhubung dengan tokoh utama semesta lainnya.


Tangkapan Terakhir di Kali Cipeundeuy


Bagian A – Pagi yang Biasa di Pinggir Kali

Dini hari baru saja berlalu saat matahari mulai mengintip dari balik rimbun pepohonan di Dusun Cikored. Angin semilir membawa aroma tanah basah dan suara burung-burung kecil yang ramai berceloteh. Di tepi Kali Cipeundeuy yang mengalir tenang, dua pemuda sudah bersiap dengan kail di tangan dan ember biru kosong di tengah mereka.

Arfan, 24 tahun, baru saja menyelesaikan masa kontrak kerjanya di sebuah pabrik garmen di Cimahi. Ia pulang kampung dengan hati jenuh, tapi senyum tetap lekat di wajahnya. Bersama sahabat kecilnya, Deden, ia mengisi hari-hari dengan memancing, sesuatu yang dulu mereka lakukan saban akhir pekan waktu SD.

“Ayeuna, saha nu rek meunang lauk kahiji?” tantang Arfan sambil mengatur posisi joran.

Deden, yang kini bekerja sebagai petugas linmas desa, terkekeh. “Nu daek narima takdir, Fan.”

Mereka tertawa. Suasana seperti ini membuat Arfan berpikir: sesederhana inikah bahagia?


Bagian B – Lautan yang Tidak Terlihat

Siang itu, sambil menunggu umpan disambar, Arfan mengungkapkan keresahan yang selama ini ia pendam. Ia bingung apakah harus kembali ke kota untuk mencari kerja baru atau bertahan di desa dan mulai dari nol.

“Di kota, duit loba tapi haté kosong. Di kampung, haté pinuh tapi dompet kosong,” keluhnya sambil melempar batu kecil ke air.

Deden mengangguk pelan. Ia sendiri tahu rasanya dilema macam itu. Adiknya masih kuliah di Tasikmalaya, dan orang tua mereka makin sepuh. Ia ingin lebih dari sekadar linmas, tapi takut gagal.

“Fan, orang ngora mah kudu wani mimiti. Kudu wani gagal. Da urang téh lain ukur tina hasil, tapi kumaha usaha urang jujur jeung taya niat goréng.”

Ucapan Deden sederhana, tapi menampar. Arfan tidak menjawab. Ia hanya menarik napas dalam, lalu menatap jauh ke ujung aliran kali, seolah berharap jawaban mengambang di sana.


Bagian C – Di Tengah Arus yang Mengabur

Beberapa hari kemudian, hujan deras mengguyur desa. Kali Cipeundeuy meluap, airnya berubah keruh dan arusnya lebih deras dari biasa. Tapi pagi itu, Arfan dan Deden tetap datang. Mereka duduk diam. Tidak ada kail. Hanya obrolan.

“Ayah ngajual kebon alit urang. Katanya buat biaya Kak Rahmi lahiran di Jakarta,” kata Deden lirih.

Arfan menepuk bahu sahabatnya. “Sakitu beratna tanggung jawab urang, Den. Tapi... kudu ditalukkeun. Ulah kabur.”

Deden mengangguk, tapi matanya berkaca.

Arfan lalu mengeluarkan sebuah map dari tas lusuhnya. Di dalamnya ada berkas lamaran kerja dan fotokopi ijazah.

“Besok, kuring ka Garut. Aya lowongan di bengkel truk. Mung sakola teu sasuai, tapi kuring bakal nyobaan.”

Deden memandangnya lama. “Hidup urang mah teu kudu hebat, cukup taya nyusahkeun batur jeung tetep nyoba unggal poe.”

Hari itu, mereka tidak memancing. Tapi mungkin, untuk pertama kalinya, mereka menangkap sesuatu yang lebih besar dari sekadar ikan.


Bagian D – Hujan yang Membawa Cahaya

Minggu berlalu. Arfan diterima bekerja di Garut. Ia tinggal di mess kecil, gajinya tidak seberapa, tapi cukup buat kirim sedikit ke rumah. Di akhir pekan, ia menelepon Deden, berbagi cerita tentang klakson rusak dan oli tumpah, sambil tertawa-tawa.

Sementara Deden mulai merintis usaha kecil: jualan pelet dan umpan pancing di teras rumah. Ia titip barang ke warung tetangga, promosi lewat grup WhatsApp RT. Pelan-pelan, uangnya terkumpul. Satu hari, ia membeli satu set joran baru, lalu membungkusnya rapi.

Untuk Arfan.


Bagian E – Tangkapan Terakhir

Tiga bulan setelah perpisahan mereka di tepi kali, Arfan pulang kampung untuk beberapa hari. Pagi itu, mereka kembali ke Kali Cipeundeuy. Tanpa kata, tanpa perlu rencana. Ember biru itu masih ada. Tapi sekarang, penuh kenangan.

Arfan mengangkat joran. “Mun ieu lauk kahiji, urang moal angkat deui,” candanya.

Deden tertawa. “Angkat wae atuh, asal tiap balik bawa kabar alus.”

Matahari pelan-pelan naik. Bayangan mereka jatuh panjang di atas air. Dan meski tidak ada yang tahu kapan hidup akan membawa mereka ke arus mana, pagi itu, satu hal pasti: mereka pernah duduk di pinggir kali yang sama, percaya bahwa hidup bisa dimulai dari tempat paling sederhana.

Dan itu cukup.


TAMAT

Genre dari novelet “Tangkapan Terakhir di Kali Cipeundeuy” yang barusan kita baca adalah:

🎭 Realisme Sosial – Drama Persahabatan & Kehidupan Desa

Dengan ciri khas:

  • Latar desa Indonesia yang membumi dan akrab bagi pembaca lokal.
  • Fokus pada persahabatan, perjuangan hidup, dan dilema masa depan pemuda desa.
  • Tanpa elemen fantasi, semua konflik dan peristiwa bisa terjadi dalam kenyataan sehari-hari.

Cerita ini menggambarkan:

  • Kesederhanaan hidup, dilema antara kota dan kampung.
  • Pilihan hidup anak muda yang mencoba jujur pada diri sendiri dan tetap bertahan dalam keterbatasan.
  • Nilai-nilai seperti kejujuran, tanggung jawab keluarga, dan dukungan emosional antar sahabat.

Sampai ketemu lagi dalam novelet lain yang tetap membumi—misalnya drama keluarga, romansa diam-diam, atau konflik adat dengan nilai modernitas—aku suka novelet Darma Wirya Multiverse.