🌐 Semesta Tur Wahyudin
🌏 Semesta AE
🗄️✍️ AE Fiksi
🗃️📺 AE Deskriptif-Naratif dengan Dialog
🗂️🎭 AE Episodik Kekinian
📁🎬 Cermin Kehidupan Jaka Surana
📂🎞️☀️🍚 Episode 1: “Ketenangan di Antara Nasi Putih dan Bakwan Hangat”
Disclaimer: 𝘊𝘦𝘳𝘪𝘵𝘢 𝘪𝘯𝘪 𝘩𝘢𝘯𝘺𝘢𝘭𝘢𝘩 𝘧𝘪𝘬𝘵𝘪𝘧 𝘣𝘦𝘭𝘢𝘬𝘢. 𝘑𝘪𝘬𝘢 𝘵𝘦𝘳𝘥𝘢𝘱𝘢𝘵 𝘬𝘦𝘴𝘢𝘮𝘢𝘢𝘯 𝘯𝘢𝘮𝘢 𝘵𝘰𝘬𝘰𝘩, 𝘵𝘦𝘮𝘱𝘢𝘵 𝘬𝘦𝘫𝘢𝘥𝘪𝘢𝘯, 𝘢𝘵𝘢𝘶𝘱𝘶𝘯 𝘤𝘦𝘳𝘪𝘵𝘢, 𝘪𝘵𝘶 𝘢𝘥𝘢𝘭𝘢𝘩 𝘬𝘦𝘣𝘦𝘵𝘶𝘭𝘢𝘯 𝘴𝘦𝘮𝘢𝘵𝘢.
Sabtu Kliwon, 25 Oktober 2025. Jam dinding di ruang tengah menunjukkan pukul 13.15 WIB. Udara Pacitan terasa gerah siang ini; langit biru muda nyaris tanpa awan ☀️. Dari jendela rumah sederhana itu, cahaya matahari menimpa lantai semen yang sudah mulai menghangat. Di meja kayu kecil yang bersih, Reza (38) duduk bersila, menunduk sebentar sebelum menyantap makan siangnya.
Di hadapannya tersaji nasi putih hangat 🍚 yang baru saja dikeluarkan dari magicom. Asap tipis naik perlahan, membawa aroma beras yang menenangkan. Di sampingnya ada tiga potong bakwan renyah, dua potong mendoan hangat yang digoreng agak lembek, serta tiga butir cabai rawit hijau kecil 🌶️. Di sisi piring, Reza menaruh sedikit saus sambal botolan sebagai pelengkap sederhana.
Tidak ada lauk daging hari itu, dan Reza tidak menganggapnya kekurangan. Ia tahu, makanan yang dihasilkan dari jerih payah sendiri memiliki rasa paling nikmat di dunia. Ia tersenyum kecil, lalu mengucap “Bismillah.”
Satu suapan nasi berpadu dengan potongan mendoan yang gurih dan lembut di dalam mulutnya. “Masya Allah, nikmat sekali,” gumamnya pelan. Di sela kunyahan, ia menggigit setengah cabai rawit 🌶️, rasa pedas langsung menyambar lidah dan membuat keringat halus muncul di dahi. Namun di situlah letak kepuasannya — kesederhanaan yang jujur, tanpa rekayasa.
Sesekali, Reza menatap ke luar jendela, melihat ladang kecilnya yang tampak hijau dari kejauhan 🌾. Ia teringat bahwa pagi tadi ia baru saja membersihkan gulma di sekitar tanaman singkong. Punggungnya masih terasa hangat karena matahari, tapi perutnya kini terisi, hatinya pun tenang.
Ia mengunyah pelan, memandangi nasi di piring yang tinggal separuh. Dalam benaknya terlintas kalimat sederhana yang sering ia dengar dari almarhum ayahnya dulu: “Orang yang pandai bersyukur tidak menunggu kaya untuk merasa cukup.” Kata-kata itu kini bergaung lembut di pikirannya.
Sambil menghabiskan potongan bakwan terakhir, Reza mengambil satu cabai lagi dan menggigitnya hingga pedasnya terasa membakar bibir. “Pedas, tapi enak,” ujarnya sambil tertawa kecil. Ia kemudian meneguk air putih dari gelas enamel yang diletakkan di samping piring 💧. Dingin, segar, dan jernih.
Selesai makan, Reza menutup piringnya dan berdoa lirih:
> “Alhamdulillah, ya Allah. Terima kasih atas rezeki hari ini. Sedikit, tapi penuh berkah.”
Suara kipas angin tua di pojok ruangan berdengung perlahan, menambah suasana hening yang damai. Tidak ada musik, tidak ada televisi. Hanya bunyi alam dari luar rumah — angin, dedaunan, dan ayam yang berkokok di kejauhan 🐓.
Reza kemudian berdiri, membawa piringnya ke dapur. Ia mencuci perlahan, menggosok hingga bersih, lalu menaruhnya di rak bambu. Setelah itu, ia melangkah keluar rumah, memandang langit yang kini sedikit berubah keemasan. Siang mulai condong menuju sore.
Di dadanya tersisa rasa syukur yang hangat — bukan karena kenyang semata, tetapi karena masih bisa menikmati kehidupan dengan cara yang sederhana dan bermakna 🌿.
Bagi Reza, makan siang seperti ini bukan sekadar rutinitas. Ia adalah bentuk penghormatan kepada rezeki, kepada kerja keras tangan sendiri, dan kepada Sang Pemberi Hidup. Tidak perlu lauk mahal atau hidangan rumit; cukup nasi hangat, cabai rawit, dan hati yang tahu bersyukur.
Dan di tengah panas Pacitan yang tak juga reda, ia merasa damai — seolah seluruh dunia berhenti sejenak hanya untuk membiarkannya menikmati kebahagiaan kecil di meja kayu sederhana itu.