Jumat, 20 Juni 2025

Senja di Ujung Pesisir

Novelet: Senja di Ujung Pesisir

Semesta Darma Wirya Multiverse
Penulis: Tur Wahyudin

---

Bagian A – Rumah Kayu dan Laut Biru

Di sebuah desa kecil di pesisir Pulau Flores, hidup sepasang suami istri bersama seorang anak laki-laki yang masih duduk di bangku kelas dua SD. Mereka tinggal di rumah panggung dari kayu, hanya berjarak sepeminum teh dari debur ombak yang bersahabat.

Anindito Arsa, 32 tahun, adalah guru honorer di sekolah dasar negeri desa itu. Istrinya, Ratna Ayu Larasati, 30 tahun, seorang perajin tenun ikat yang mulai dikenal lewat unggahan Instagram-nya. Anak mereka, Rafi Pandega, delapan tahun, anak yang ceria dan suka menggambar kapal layar yang sering ia lihat bersandar di pantai.

Kehidupan mereka jauh dari kemewahan, tetapi tidak kekurangan cinta.


---

Bagian B – Tiga Peran, Satu Tujuan

Setiap pagi, Arsa mengayuh sepeda tuanya ke sekolah. Gajinya kecil, tetapi cintanya pada dunia pendidikan besar. Ia mengajar bukan demi status, tapi demi masa depan anak-anak desa. Ia percaya, pendidikan adalah suluh yang menyala di tengah gelapnya keterbatasan.

Sementara itu, Ratna menjadikan rumah mereka sebagai galeri kecil. Ia memotret hasil tenunannya dengan cahaya alami, membagikannya ke media sosial. Lambat laun, pesanan datang dari berbagai daerah. Ia tak menyangka, warisan tangan ibunya bisa menemukan tempat di dunia digital.

Rafi tumbuh dalam cinta dan keteladanan. Sore-sore, mereka bertiga duduk di tepi pantai, menonton matahari tenggelam sambil berbagi cerita ringan tentang hari itu.


---

Bagian C – Antara Pindah dan Bertahan

Suatu hari, Arsa mendapat tawaran menjadi pegawai tetap di kantor Dinas Pendidikan kabupaten. Gaji tetap, fasilitas lebih baik. Namun itu berarti harus pindah ke kota dan meninggalkan sekolah, rumah, dan murid-muridnya.

Ratna tidak menolak, tapi wajahnya menyiratkan keraguan. Tenunannya baru berkembang, dan ia belum yakin bisa menemukan kembali irama kerjanya di tempat baru.

“Aku ikut saja keputusannya,” ucap Ratna lembut. “Tapi kita pikirkan baik-baik, ya.”

Rafi mendengar tanpa banyak bicara. Saat ditanya, ia hanya menjawab, “Aku ikut ayah dan ibu ke mana pun, asal kita tetap bersama.”


---

Bagian D – Jawaban dari Tepi Laut

Hari itu, Arsa berdiri di depan kelas, menatap anak-anak yang tengah sibuk menulis. Ia terdiam cukup lama. Di wajah-wajah mungil itu, ia melihat masa depan desa ini—masa depan yang butuh pendamping, bukan ditinggalkan.

Malamnya, di beranda rumah yang menghadap laut, angin membawa percakapan mereka ke titik keputusan.

“Aku belum bisa meninggalkan tempat ini,” kata Arsa perlahan. “Aku merasa masih ada yang harus aku selesaikan.”

Ratna menggenggam tangannya dan tersenyum. “Kalau begitu, kita tetap di sini. Kita teruskan langkah, walau perlahan.”


---

Bagian E – Cahaya di Tengah Kesederhanaan

Beberapa bulan berselang, Ratna diundang mengikuti pameran tenun provinsi. Tenunnya tampil dalam katalog digital nasional. Arsa diangkat menjadi kepala sekolah karena dedikasinya yang menyentuh banyak pihak. Dan Rafi—dengan polos dan gembira—memenangkan lomba menggambar tingkat kabupaten. Gambarnya adalah keluarga kecil di atas perahu, menghadap senja.

Tak ada selebrasi besar. Tapi di tengah cahaya sore dan senyum yang tulus, hidup mereka terasa cukup.

Di desa kecil yang jarang disinggahi turis, keluarga ini terus berjalan dengan cinta, ketekunan, dan kesetiaan terhadap tempat yang mereka sebut rumah.


---

TAMAT

This Is The Newest Post