Berikut ini novel JAGANALA Episode 02: Bara yang Tak Padam
---
Bagian A — Bara di Ujung Senyap
Sudah tiga minggu berlalu sejak perjumpaan terakhir (Kamis, 22 Mei 2025) itu. Sejak Nala kembali ke Kota Madiun dan Jaga tetap bergelut dengan lumpur dan bara di tepi jobongan di sebuah desa di Kabupaten Pacitan. Waktu berjalan seperti biasa, namun hati keduanya seperti tak pernah benar-benar kembali ke keadaan semula.
Pagi itu, (Kamis, 12 Juni 2025) Jaga duduk sendiri di atas tumpukan bata yang sudah matang. Tubuh kekarnya telanjang dari pinggang ke atas, seperti biasa. Peluh membasahi dada dan punggungnya, mengalir melewati lekuk otot yang terlatih oleh kerja keras bertahun-tahun. Matanya menatap jauh ke ujung jalan tanah berdebu, seakan mengharap sosok berwajah tenang dan bersih itu datang kembali.
Tapi yang datang justru suara keras dari warung Pak Cipto.
“Mas Jaga, ada yang nanyain kamu, lho! Anak mobil putih itu datang lagi!”
Jaga bangkit, menuruni tumpukan bata tanpa sepatah kata. Jantungnya berdetak sedikit lebih cepat. Ia tidak ingin berharap, tapi tubuhnya seolah bergerak lebih ringan.
Mobil Daihatsu Ayla berwarna putih susu itu memang sedang berhenti di depan warung. Pintu depan terbuka. Dan Nala keluar dengan senyum kecil yang lebih gugup daripada sebelumnya. Ia mengenakan kemeja putih bersih dan celana kain gelap. Rambutnya tetap rapi, tapi matanya terlihat lebih dalam.
“Permisi, Mas,” sapa Nala pelan.
Jaga hanya mengangguk kecil. Mereka berdiri beberapa langkah saja, tapi rasanya seperti menyeberangi jarak yang tak terlihat.
“Maaf kalau mengganggu. Aku cuma… lewat. Dan kepikiran mampir,” ujar Nala. “Kalau Mas Jaga sedang sibuk, nggak apa-apa. Aku bisa langsung pulang.”
Jaga masih diam. Tapi sorot matanya jelas tak ingin Nala pergi.
“Aku baru sadar… aku nggak pernah pamit baik-baik waktu itu,” lanjut Nala, suara lirihnya hampir tertelan angin.
Dan akhirnya, Jaga berkata lirih, nyaris seperti gumaman,
“Kalau sekadar lewat, kenapa degup jantungku bisa kayak gini lagi?”
Nala terdiam. Tak ada jawaban. Tapi senyum tipis itu muncul—dan dalam diam yang ganjil itu, perasaan kembali menyala.
---
Berikut ini Bagian B dari novelet JAGANALA 2: Bara yang Tak Padam:
---
Bagian B — Di Tengah Asap dan Hujan
Langit mendung menggantung rendah. Udara lembap mulai menusuk kulit, tapi tak ada yang bisa mengalahkan hangatnya percakapan dua pria yang akhirnya kembali duduk berhadapan di bangku kayu warung Pak Cipto.
“Aku kira kamu nggak bakal datang lagi,” ujar Jaga, pelan, sambil mengaduk kopi Kapal Api yang mulai mendingin. Asap rokok Surya melingkar-lingkar di udara.
Nala menunduk sejenak, lalu mengangkat pandangannya. “Aku kira juga begitu… Tapi ternyata aku malah kepikiran terus. Bahkan pas lagi nyiapin ayam penyet pun aku jadi susah fokus.”
Jaga terkekeh pendek. Suara tawanya berat tapi lembut, seperti suara bara yang menyala pelan. “Jadi kamu balik ke sini karena ayam penyet kamu gosong?”
“Karena hatiku yang gosong, Mas,” jawab Nala setengah bercanda. Tapi ada sepotong ketulusan yang membuat kata-kata itu lebih dari sekadar lelucon.
Hujan mulai turun perlahan. Rintiknya mengetuk atap seng warung dan menciptakan suara teduh yang mengisi sela-sela diam mereka. Tak ada pelanggan lain saat itu, hanya mereka berdua dan suasana yang seperti tahu diri untuk ikut diam.
“Aku nggak ngerti, Nal,” kata Jaga akhirnya, “Kita cuma ketemu sebentar, tapi rasanya kayak aku udah nunggu kamu sejak lama. Aneh, ya?”
“Kalau itu aneh, berarti kita berdua sama-sama aneh,” balas Nala pelan. “Karena aku juga ngerasain hal yang sama.”
Jaga menatap ke luar warung, ke arah tungku pembakaran yang mengepulkan asap tipis di kejauhan.
“Bara itu,” ujarnya sambil menunjuk, “harus dijaga supaya tetap nyala, walau kecil. Kalau dibiarkan padam, susah buat nyalain lagi.”
Nala ikut memandang ke arah bara di kejauhan. Tapi yang ia pikirkan bukan tungku itu. Yang ada di pikirannya adalah bara lain — yang ada di dada mereka masing-masing.
---
Bagian C — Bara yang Dijaga
Hujan belum reda, tapi langit mulai terang. Warung Pak Cipto sudah ditutup separuh tirainya, pertanda sore segera habis. Tapi dua laki-laki itu masih betah di bangku kayu. Gelas kopi mereka sudah kosong sejak tadi. Puntung rokok juga hanya tersisa abu di asbak kaleng tua.
Jaga merogoh saku celana pendeknya, mengambil korek dan sebungkus Surya yang tinggal dua batang. Ia sodorkan satu ke Nala. “Mau?”
Nala menggeleng halus. “Aku nggak ngerokok.”
Jaga tersenyum. “Iya, aku tahu. Cuma formalitas aja. Biar kayak... semacam kode pertemanan.”
“Berarti kita udah temenan, ya?” tanya Nala, nada suaranya ringan, tapi matanya menatap Jaga dengan tenang.
Jaga tidak langsung menjawab. Ia menyalakan rokoknya, menghisapnya dalam-dalam, lalu melepaskan asapnya pelan. “Mungkin lebih dari itu.”
Nala menoleh ke arah Jaga. Hujan mulai mereda, dan matahari sore menerobos sedikit dari celah awan, mengenai kulit dada Jaga yang masih basah oleh gerimis.
Nala tak berpaling.
“Aku harus balik ke rumah makan,” ujarnya, akhirnya. “Besok pagi-pagi sudah harus kirim pesanan besar. Tapi…”
“Tapi?” tanya Jaga sambil mematikan rokok di asbak.
“Tapi kalau kamu nggak keberatan, aku mau datang lagi lusa. Bantu-bantu di pembakaran, kalau kamu butuh tangan tambahan.”
Jaga tertawa kecil. “Kamu kuat?”
“Enggak,” jawab Nala jujur. “Tapi aku mau belajar.”
Sejenak, Jaga hanya menatapnya. Lalu ia mengangguk pelan, penuh arti.
“Bara nggak bisa dijaga sendirian terus-menerus, Nal. Terkadang, kita memang butuh orang lain buat tiupin pelan-pelan, supaya tetap menyala.”
---
Bagian D — Belajar Menjaga Api
Pagi-pagi sekali, (Sabtu, 14 Juni 2025) sebelum kabut benar-benar mengangkat dari ladang, suara mobil dan motor terdengar dari kejauhan. Ayla putih milik Nala berhenti tepat di pinggir area pembuatan bata. Langit masih kelabu, udara lembap khas tanah basah menyeruak begitu pintu mobil dibuka.
Nala turun, mengenakan kaos putih bersih yang dibalut jaket tipis dan celana kain warna krem. Sepatunya agak kotor terkena becek jalan masuk, tapi wajahnya tampak segar. Dia langsung melambaikan tangan ke arah Jaga yang sedang menata bata mentah di atas rak pengering.
“Masih niat bantuin?” sapa Jaga sambil menurunkan topi rajutnya.
“Sudah terlanjur janji,” jawab Nala sambil menggulung lengan jaketnya dan melepas sepatunya.
Jaga melemparkan handuk kecil ke arah Nala. “Keringetan dikit, nggak papa kan? Tapi jangan sampai kamu pingsan di tengah ladang bata. Aku repot nggotongnya.”
Nala tertawa kecil. “Kalau pingsan, berarti kamu harus tanggung jawab.”
Tak ada jawaban dari Jaga, hanya senyum tipis yang tak pernah benar-benar mekar, tapi jelas lebih hangat dari bara yang mereka jaga bersama. Tanpa banyak bicara, mereka mulai bekerja. Nala diajari mengangkat cetakan, menyusun bata mentah, dan cara menumpuk dengan benar agar cepat kering. Sesekali tangan mereka bersentuhan, tapi tak satu pun mengomentari.
Matahari mulai tinggi saat mereka duduk di bawah pohon jati. Keringat membasahi kening keduanya. Nala mencuri pandang ke arah tubuh Jaga yang kekar dan berkilau karena keringat, tapi cepat-cepat menunduk lagi.
“Mas Jaga…” panggil Nala pelan.
“Hm?”
“Kamu selalu sendiri di sini?”
Jaga menatap langit sebentar sebelum menjawab, “Iya. Tapi mulai hari ini, kayaknya nggak terlalu sendiri lagi.”
Nala mengangguk. Lalu tanpa aba-aba, ia berkata, “Aku suka suasana di sini. Panasnya... wangi tanahnya... dan kamu.”
Jaga tak langsung merespons. Tapi senyumnya menandakan, bara itu tak padam. Justru semakin menyala.
---
BAGIAN E
JAGANALA EPISODE 02
Hari sudah sore. Cahaya matahari mulai redup, langit berwarna jingga lembut menggantung di atas dusun. Nala berdiri sendirian di dekat Ayla putihnya, tangannya menyentuh bodi mobil. Ia memandangi arah barat, ke tempat matahari hampir tenggelam di balik perbukitan.
Suara langkah kaki di belakangnya membuatnya menoleh. Jaga, masih bertelanjang dada, mendekat perlahan. Tubuh kekarnya dibalut debu halus, namun matanya jernih seperti biasa — tak banyak bicara, tapi penuh makna.
“Besok (Ahad, 15 Juni 2025) aku ke kota lagi,” kata Nala pelan.
Jaga mengangguk kecil. “Untuk berapa lama?”
“Seminggu (hingga Sabtu, 21 Juni 2025). Tapi aku balik lagi. Dan… aku nggak akan nyerah buat ketemu kamu.”
Jaga menarik napas dalam-dalam, lalu mengangguk lagi. “Aku nggak biasa janji-janji… tapi kalau kamu balik, ya aku di sini.”
Ada keheningan sejenak. Burung-burung sore mulai kembali ke sarang. Angin membawa aroma tanah basah dan kayu bakar dari arah dapur rumah warga.
Nala mendekat satu langkah. “Kamu tahu nggak, Jaga… aku nggak pernah nyangka ketemu seseorang yang bikin aku mikir dua kali buat pulang ke kota.”
“Dan aku,” sahut Jaga pelan, “nggak pernah nyangka ada yang bisa bikin aku nungguin mobil putih lewat tiap pagi.”
Tawa kecil keluar dari mulut Nala. “Ayla putih,” koreksinya sambil tersenyum.
Jaga ikut tersenyum. Lalu pelan-pelan, ia mengangkat tangan kanannya, menyentuh bahu Nala dan menepuknya ringan. Tidak ada pelukan, tidak ada genggaman tangan. Tapi di mata mereka, ada sesuatu yang sudah saling mengerti.
Mereka berdiri berdampingan, menatap langit senja yang perlahan-lahan berubah menjadi malam.
---
Bersambung ...
Terima kasih telah mengikuti kisah JAGANALA 2. Jika kisah ini menyentuh hatimu, mungkin karena ada sedikit kebenaran yang tak terucap di antara dua jiwa lelaki yang diam-diam saling menguatkan.
---
Sampai ketemu lagi di episode berikutnya!